Pagi yang cerah di SMP Glory. Hari ini adalah hari pertama masuk kembali ke sekolah setelah liburan kenaikan kelas selesai. Sekarang aku sudah kelas 3 SMP. Masa-masa Junior High School akan segera berakhir. Sebenarnya aku biasa-biasa saja kalau di sekolah. Tidak terlalu pintar dan tidak bodoh juga, prinsipku adalah 'ingat hari ini, besok lupakan' terutama kalau mau ujian. Penuh banget kan ya kalau kita harus mengafal semua pelajaran di dalam kepala? Itulah yang menyebabkan orang suka pikun pikirku sampai sekarang. Makin banyak diisi otaknya makin banyak lupanya. Yang penting kalau ada yang bodoh, bukan aku yang paling bodoh di dalam kelas.
"Lyn!" teriak suara yang kukenal.
"Oit, Amia." Balasku sambal melambaikan tangan ke Amia yang heboh banget melihatku masuk ke dalam kelas.
Aku masuk ke kelas 3-B. Ya kalau di sekolahku tidak repot-repot cari kelas lagi pas masuk, karena sebelum liburan sudah diberitahukan kelas berapa nanti kita akan ditempatkan. Namanya sekolah swasta yah, kadang peraturannya ya ada peraturan sekolah sendiri.
"Lyn duduk ama gue lagi, lu kan uda janji pas sebelum naik kelas."
"Iya-iya. Duduk di kedua dari depan aja trus di tengah-tengah, biar kalau liat papan tulis enak Mia. Lu tahu kan gue matanya suka burem"
"Ah, elu kalau gak keliatan pakai kacamata dong. Kayak orang susah deh beli sana". Amia emang ngomongnya suka ceplas-ceplos gini.
"Ya gak enak pakai kacamata. Entar aja deh, tunggu bener-bener ga keliatan. Jelek nanti pakai kacamata kayak kutu buku gak sih?" Kataku ragu-ragu. Bagi anak SMP yang sedang mencari jati diri rasanya penampilan itu penting ya, perubahan sering kali membuat tidak percaya diri.
"Hmm.. enggak tahu kalau lu enggak coba. Memangnya gua dukun apa?" Amia meledek
"Errrr, males gue ama lu kadang-kadang"
Aku dan Amia sengaja datang pagi karena bisa memilih tempat duduk. Males banget kalau datang siang tempat duduk strategis sudah direbut oleh teman-teman yang lain. Kami mengobrol macam-macam sambil menunggu jam masuk sekolah. Teman-teman kelas 2 SMP kami mulai bermunculan. Kelas lama-lama semakin ramai. Satu kelas di sekolah kami maksimal 25 orang. Untuk 3 SMP ada 4 kelas dari 3-A sampai 3-D. Berarti kira-kira ada 200 orang yang akan sama-sama berjuang untuk melewati ujian akhir SMP nanti. Di kelas duduknya sih tidak diatur, suka-suka muridnya. 1 Meja ada 2 kursi. Makanya Amia sejak sebelum kenaikan kelas sudah mem'booking' untuk duduk berdua kembali. Dia temanku dari SD. Pas kelas 2 SD kita bertemu dan berteman baik sampai sekarang. Rumahnya tidak jauh dari sekolah makanya dia cepat sekali sampai. Kami selalu ada satu dengan yang lain. Oia, prinsipku yang lain adalah kualitas lebih baik daripada kuantitas. Punya 1 teman itu lebih baik daripada punya banyak tapi fake semua. Aku sayang sekali sama Amia, semoga kami bisa berteman sampai nanti kita sudah dewasa dan berkeluarga.
"Selamat pagi, anak-anak!" Suara Pak Gilbert memecahkan suasana ribut di kelas.
Kulihat Pak Gilbert guru Biologi datang dengan seorang anak laki-laki berkacamata. Badannya tergolong pendek untuk anak cowok 3 SMP. Dia memakai kacamata dan kaos kakinya panjang sampai ke lutut. Seragam SMP anak cowok di sekolah kami celananya selutut ya, jadi dia keliatan agak culun gitu kalau kaos kakinya sampai ke lutut. Wajahnya seperti bayi, imut-imut dan dia membawa tas yang besar. Mungkin 1 paket semua buku pelajaran dia bawa kali di tasnya, pikirku sambil tertawa dalam hati. Kulitnya putih dan rambutnya hitam tebal dan berponi acak-acakan menutupi dahinya.
"Hari ini kita kedatangan murid pindahan dari sekolah lain. Tolong kalian bisa berteman dengan baik dengan dia ya. Ayo kamu perkenalkan dirimu sama teman-teman barumu" Kata Pak Gilbert ke anak baru itu.
Anak cowok putih itu dengan ragu-ragu mulai memandang ke seluruh kelas. Daritadi dia kelihatan menunduk. Mungkin dia grogi. Ya kalau aku jadi dia, pastilah begitu. Jadi anak baru memang tidak enak. Tapi kenapa ya dia pindah sekolah saat udah mau naik SMA. Jarang banget. Biasanya orangtuanya males dan berpikir pasti nanggung banget kalau mau memindahkan anaknya, tunggu naik SMA gitu sekalian.
"Hallo, nama saya Alfa Mikolas." Sapanya keseluruh teman-teman barunya
"Hallo jugaaaaaaaaaaaaaa" Balas anak-anak sekelas.
"Oke namanya Alfa ya anak-anak, Alfa pindahan dari sekolah mana?" Pak Gilbert berusaha memecahkan kegrogian Alfa sepertinya
"Saya dari sekolah Lucas." Jawabnya pendek.
Tiba-tiba anak-anak sekelas heboh. Semua bisik-bisik langsung. Sekolah Lucas merupakan sekolah terkenal dan mahal. Semua orang tahu sekolah itu. Kok dia mau pindah yah ke sekolah yang levelnya di bawah sekolah dia itu. Apa jangan-jangan dia drop out? Atau jangan-jangan dia enggak naik kelas jadi dia pindah ke sini? Ke'kepo'an ini bergejolak di dalam hati.
"Gile dia sekolahnya dulu di Lucas, gak salah yah dia pindah ke sini?" Amia berbisik ke telingaku seolah-olah tahu juga aku sedang berpikir hal yang sama. Kayaknya 1 kelas deh bukan kita berdua aja.
"Iya, jangan-jangan dia gak naik kelas di situ, atau jangan-jangan orangtuanya gak sanggup sekolahin dia disitu lagi? Sekolah itu masuknya mahal banget kan Mia? Elit gitu loh" Balasku berbisik 'kepo' ke Amia.
"Sudah-sudah, kok jadi ribut?" Teriak Pak Gilbert mendengar kegaduhan kami. "Alfa, kamu duduk di sana ya" Lanjut Pak Gilbert ke Alfa sambil menunjuk 1 kursi kosong di belakang kami.
"Bah, belakang kita kosong ya?" Kataku ke Amia sambil menoleh ke belakang. Eh iya, benar kosong. Ada si Dennis duduk disitu sebelahnya kosong. Dennis anaknya pendiam dan pelit kalau kasih contekan mungkin pada males duduk ama dia. Lah, si Alfa moga-moga enggak kepengaruh sama si Dennis.
"Iya kosong, si Dennis duduk belakang kita tadi. Yang lain males duduk depan-depan supaya bisa tidur kali pas pelajaran" Jawab Amia.
Alfa mulai berjalan menuju tepat ke belakangku. Tidak ada prasangka apa-apa saat itu bahwa ternyata dia akan menjadi orang yang sangat berarti untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
1.000 Miles to Get Your Heart
RomanceAlfa Mikolas anak baru di kelasku saat umurku 15 tahun tepatnya aku 3 SMP waktu itu. Jarang-jarang ada anak pindahan dekat dengan kenaikan SMA. Mungkin dia pindah sekolah karena suatu hal. Kedatangannya hari itu di kelasku tak kusangka akan membawa...