Bagian 2

10.6K 1.3K 61
                                    


Kesendirian terkadang lebih baik daripada ramai tapi menyakitkan

***

Pertanyaan Bima membuat gadis itu menunduk. Jemarinya saling bertaut.

"Tidak perlu diantar. Saya bisa pulang sendiri," ucapnya pelan.

"Oke kalau begitu. Aku harus pergi sekarang."

Bima bangkit dari duduk kemudian meninggalkan ruang lalu pergi. Sesaat kemudian terdengar deru mobil menjauh.

Cinta beranjak melangkah meninggalkan ruang makan. Ia berjalan keluar tanpa tahu akan pergi kemana. Kaki jenjangnya terayun meninggalkan rumah besar bergaya klasik itu. Terlihat Hardi mengangguk sopan seraya membuka pagar setinggi hampir tiga meter.

Aroma hujan masih tersisa. Lama ia mematung di pinggir jalan. Rumah Bima benar-benar berada di pinggiran kota. Sepanjang jalan hanya hutan jati yang basah akibat deras air yang turun semalam.

Sementara di sisi lain bentangan persawahan menghijau sangat memanjakan mata. Meski sang Surya masih malu-malu menampakkan sinarnya, tapi hangat sudah terasa.

Cinta terus melangkah tanpa tahu ke mana. Keinginannya hanya pergi jauh dari keluarga yang ia rasa tidak layak dianggap keluarga. Kehangatan kasih sayang Hanya ia dapat saat sang ayah dan ibu masih ada.

Semua lenyap saat keduanya pergi. Kesedihan itu berujung satu keputusan untuk mengakhiri hidup, tapi pria bernama Bimantara menyelamatkannya dengan cara yang aneh. Aneh? Iya, aneh menurut Cinta. Pria itu menyelamatkan dan memberi tumpangan semalam di rumah megahnya tanpa tahu siapa dia.

Mentari bergeser meninggi. Sengatnya mulai terasa. Jarak rumah Bima dengan rumah lain sangat jauh. Ia benar-benar merasa lelah. Berkali mengusap peluh, hingga akhirnya tiba di sebuah rumah makan.

Aroma masakan menyapa penciuman membuat perutnya bereaksi minta diisi. Sadar tak membawa uang sepeser pun, ia mencoba menawarkan untuk membantu.

Seorang wanita bertubuh subur dengan rambut digelung tampak menaruh belas kasihan padanya.

"Baik, kamu boleh membantu mencuci piring dan bersih-bersih di sini," ucap wanita itu, setelah Cinta mengutarakan niatnya untuk bekerja.

Hal tersebut tak disia-siakan olehnya. Dengan semangat segera ia melakukan pekerjaannya. Siang itu pengunjung rumah makan itu cukup ramai, sehingga hal itu menyibukkan Cinta.

"Sudah, sekarang kamu boleh makan. Ambil saja lauk dan nasi sesukamu," perintah wanita itu saat pekerjaan Cinta selesai. Perut lapar membuat gadis itu lahap menyantap hidangan makan siang-nya.

"Kamu tinggal di mana, Nak?"

Sambil meneguk air minum ia menggeleng.

"Saya ...," Ia tampak berpikir untuk menjawab.

Belum sempat ia mengatakan perihal dirinya, sang ibu pemilik rumah makan itu kembali disibukkan oleh pembeli.

"Oh iya, saya Wati, kamu bisa panggil Bu Wati, atau Ibu saja tak apa," ujarnya ramah, setelah selesai meladeni pelanggan. Ibu itu memintanya agar pulang sore saat rumah makan tutup. Cinta mengangguk menanggapi.

Meski bersyukur bisa mengisi perut siang itu, tapi hatinya gundah memikirkan di mana ia tidur malam nanti.

***

Di gedung tinggi tepatnya di lantai tujuh. Seorang pria berkemeja putih dengan vest hitam tengah bercakap-cakap dengan rekan kerjanya. Meski terlihat serius terkadang ada tawa di antara mereka.

Bukan Salah Cinta ( Projects With Batik Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang