Rúh - II

1.2K 191 12
                                    

Namjoon sudah mengencani semua orang yang membuat ìz miliknya berdetak tak wajar. Semua, tanpa terkecuali. Lelaki, maupun perempuan. Tidak peduli di pergelangan tangan orang itu tertulis namanya atau tidak. Jika hatinya tertarik, Namjoon akan mengencaninya.

Sebab menurut Namjoon, urusan takdir tak ada sangkut pautnya dengan hati.

"Dia tidak banyak berdetak belakangan ini," kata Namjoon. Sore itu Yoongi menghubunginya, memintanya untuk bertemu Jin di taman sekitar kampus. "Aku mendapatkannya sudah sejak lahir. Hanya bertuliskan Kim," Namjoon menarik lengan bajunya sampai siku.

Jin melihatnya. Kim, dengan tulisan latin. Tidak hangeul seperti miliknya. Berwarna merah, tapi tak terlalu terang.

"Warnanya sudah seperti ini sejak aku mengencani kekasihku," kata Namjoon, mengerti tatapan penuh pertanyaan Jin. "Aku tidak yakin jika Namjoon yang kau cari adalah aku. Aku sudah punya kekasih," kata Namjoon, ditatapnya Jin yang sejak tadi diam. "Apa kau punya cara untuk mengetahuinya?"

Jin menggeleng. "Manusia mana berhak punya cara untuk mengetahui skenario tentang Rúhnya."

Namjoon menatap Jin. Bisa dilihatnya pergelangan tangan Jin yang berdetak kuat. "ìz milikmu berdetak sangat kuat."

"Hanya saat berada disampingmu," jawab Jin. "Aku tidak tahu kenapa."

"Kenapa kau tidak mengencani setiap orang yang bernama Namjoon saja?"

"Aku tidak mau mengencani sembarang orang. Aku hanya ingin Namjoonku, Rúhku."

Wajah Namjoon bersemu merah mendengarnya. Kenapa saat namanya disebutkan seperti itu oleh Jin, terdengar berbeda di telinganya?

"Kau mau mencoba berkencan denganku?" tanya Jin, tiba-tiba.

Namjoon menatap Jin yang juga menatapnya. "Aku sudah punya kekasih, Jin. Aku mencintainya," jawabnya pelan. Takut menyakiti hati Jin.

Tunggu, untuk apa Namjoon merasa takut?

Jin terdiam. ìz miliknya berdetak nyeri. Begitu juga jantungnya. Begitu juga hatinya. "Sakit," desisnya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Namjoon, cemas melihat wajah Jin yang berubah pucat menahan sakit.

Jin memegangi pergelangan tangannya. Detaknya terasa seperti ribuan jarum yang menusuk di saat bersamaan. Ini jauh lebih sakit dari sebelumnya. "Namjoon, apa kau yakin ìz milikmu tak bereaksi terhadapku?" tanyanya. Ditatapnya Namjoon dengan cemas, sama seperti tatapan Namjoon padanya.

Namjoon menatap ìz miliknya. Berwarna merah, tidak menyala. Tidak juga berdetak sekuat Jin. Menggeleng pelan ia.

Jin meringis lebih kuat. Jantungnya berdetak semakin cepat. Nafasnya memburu, sesak. "Ini sakit."

Namjoon semakin panik. "Aku akan menelfon Yoongi!"

Jin menatap ìz miliknya. Kini warnanya berubah menjadi kemerahan, namun terlalu gelap. Warnanya menjadi semerah darah. "Namjoon... Namjoon..." bisiknya.

Jin ingat sakitnya. Seperti delapan belas tahun lalu.

"Yah! kenapa ìzmu menjadi semerah ini?!" seru Namjoon, semakin cemas.

Jin terbungkuk kesakitan, digenggamnya pergelangan tangannya kuat-kuat. Ditekannya rasa sakitnya dalam-dalam. Bulir keringat mulai turun dari pelipis matanya. Perih, dan panas. Bahkan kini detaknya semakin terlihat jelas.

Namjoon menggenggam pergelangan tangan Jin cepat. "Tahan sebentar, aku akan menghubungi Yoongi!"

Jin terdiam. tepat saat jemari Namjoon menyentuh pergelangan tangannya, detak nadinya melambat perlahan-lahan. Begitu juga jantungnya.

RúhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang