LATISHA kini sedang menatap sebuah foto. Ia tersenyum. Di foto tersebut, ada seorang lelaki yang tidak lain adalah ayahnya. Ia tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Maka yang bisa ia lakukan adalah menatap foto itu dengan mata berkaca-kaca.
Menurut cerita ibunya, ayahnya meninggal saat kakaknya masih kecil. Ini membuat Tisha benar-benar tidak bisa melihat wajah asli ayahnya. Ia sempat berfikir, apabila ayahnya masih hidup, apakah ayahnya akan memperlakukan ia seperti ibunya.
Bu Bintan adalah ibunya. Ibu yang sangat ia sayangi. Namun ia tidak tahu, apakah ibunya menyayanginya atau tidak. Karena sejak kecil, ibunya selalu memperlakukan Tisha layaknya orang lain. Tapi, Tisha berjanji untuk tetap menyayangi ibunya walaupun ibunya memperlakukan ia dengan tidak baik.
Sama seperti hari ini. Hari ini adalah hari pertama Tisha masuk kuliah. Namun, sebelum berangkat ke kampus, ia harus mengerjakan semua pekerjaan di rumah. Sedangkan kakaknya, Tisha tak pernah sekalipun melihat kakaknya disuruh oleh ibunya. Tisha tahu apa yang dilakukan ibunya tidak adil. Tapi Tisha tak mau ambil pusing, daripada ia harus diomeli oleh ibunya lagi.
Pekerjaan Tisha sudah selesai. Ia pun menghampiri ibu dan kakaknya di meja makan.
"Kamu ngapain ke sini?, pekerjaan kamu sudah selesai?," tanya Bu Bintan.
"Sudah Bu. Semua pekerjaannya sudah selesai." kata Tisha seraya tersenyum.
"Bagus kalau gitu. Yaudah sekarang kamu makan tapi jangan banyak-banyak soalnya kamu harus irit."
Bu Bintan menatap putri sulungnya.
"Nita, kamu tambah lagi makanannya. Kamu harus makan makanan bergizi supaya di kampus nanti kamu kuat dan belajarnya juga fokus." kata Bu Bintan seraya tersenyum.
"Loh Bu. Bukannya tadi ibu bilang kita harus irit, tapi kenapa Kak Nita disuruh nambah lagi?," tanya Tisha, heran.
"Aduh, kamu budeg apa. Saya gak bilang kayak gitu, saya cuma bilang kalau kamu yang harus irit, bukan saya dan Nita. Kamu tuh rakus tau gak, makanya saya gak suka kamu makan banyak-banyak. Kamu makan sandwich nya sepotong aja gak usah nambah lagi."
Tisha pun menghela nafas. Ia mencoba bersabar. Bu Bintan memang selalu seperti ini, ia selalu membeda-bedakan Tisha dan Anita. Tapi sama seperti sebelumnya, Tisha tak pernah ambil pusing.
"Yaudah kalau gitu Bu, aku pamit ya. Tolong do'akan aku semoga hari pertama aku kuliah ini bisa berjalan lancar." kata Tisha seraya tersenyum.
"Hmm...." jawab Bu Bintan cuek.
"Yaudah Ma, Nita juga berangkat deh supaya gak terlambat. Bye Maaa.."
Tisha dan Nita pun berjalan ke luar dengan berdampingan. Sesampainya di luar, Tisha pun menawarkan diri untuk berangkat bersama kakaknya.
"Kak, gimana kalau kita berangkatnya barengan aja?," tawar Tisha.
"What?, apa lo bilang?, gue gak mau ya berangkat bareng sama lo. Gue gak mau ada orang yang tahu kalau kita tuh adik kakak." sahut Anita dengan nada tinggi.
"Loh emangnya kenapa Kak?," tanya Tisha heran.
"Pokoknya, gue gak mau ada yang tahu kalau kita tuh bersaudara. Lo gak usah banyak omong, tuh taksi gue udah datang. Lo gak usah buntutin gue." kata Anita seraya pergi meninggalkan Tisha.
Tisha menatap ke depan seraya menghela nafas. Ia sudah kebal diperlakukan seperti ini. Ia hanya bingung kenapa kakak dan ibunya menganggap Tisha sepeeti orang lain. Ia hanya bisa diam. Saat ini ia harus segera sampai di kampus, mengabaikan rasa sakit yang kembali menyeruak di dalam hatinya.
****
Sesampainya di kampus, Tisha mendapati lirikan tajam dari seniornya.
"Heiii, kamu yang berdiri di situ. Kenapa kamu telat?" tanya seorang seniornya seraya berjalan mendekat.
"Emhh... Aku, aku tadi ada urusan dulu di rumah. Makanya aku telat. Maaf kak..." kata Tisha seraya menundukkan kepalanya.
Seniornya pun mendelikkan matanya malas.
"Heh, kamu pikir kita bakal percaya sama omongan kamu itu. Kita juga punya banyak urusan, ini masalah tanggung jawab dan kedisiplinan. Dan kamu, harus dapat hukuman.. " katanya seraya tersenyum sinis.
"Yo, lo kasih hukuman ke dia." kata senior yang barusan memarahinya sambil menepuk bahu temannya.
"Ok."
Senior yang ditugaskan untuk memberi hukuman pada Tisha pun mendekat. Tisha menunduk, tak berani menatap seniornya itu.
"Kamu keliling lapangan 10 kali, dimulai dari sekarang."
Ucapan seniornya itu, membuat Tisha mendongak dan mendapat tatapan tajam dari seniornya. Jujur, saat Tisha melihat wajah seniornya itu, Tisha mengakui bahwa ia sangat tampan. Namun, setelah ia tersadar atas perlakuan seniornya itu, ia kembali menarik pendapatnya tadi.
"Ayo, kenapa kamu ngelamun?, baru lihat orang ganteng?," tanyanya percaya diri.
Ucapan seniornya itu sukses membuat Tisha melotot dan tanpa basa basi ia pun berlari tanpa memedulikan hal yang lain. Ia baru tersadar ternyata lapangan yang harus ia kelilingi ini sangatlah luas. Baru satu putaran saja, nafas Tisha sudah tersengal-sengal.
Ihh... Nyebelin banget tuh senior. Gak ada manis-manisnya dikit gitu sama junior. Pake ngehukum segala lagi. Emangnya harus, dihukum kaya gini?. Rutuk Tisha dalam hati.
Mungkin bagi atlet olahraga atau orang yang menyukai olahraga, berlari seperti ini tidak menjadi masalah baginya. Tapi untuk Tisha yang notabenenya jarang olahraga dan kurang menyukai olahraga, ini merupakan hal yang menyebalkan.
Baru tiga putaran saja, perut Tisha sudah sakit. Matanya berkunang-kunang. Nafasnya juga sudah tersengal-sengal. Ia merutuki dalam hati, kenapa ia tak melawan saja saat tadi seniornya menghukumnya. Lagipula ia hanya telat 10 menit.
Tisha terus saja berlari, ia sudah hampir memasuki 5 putaran. Ia sudah tak sanggup lagi. Ia mencoba untuk menghentikan langkahnya, dan akhirnya.
Brukk
Tisha jatuh pingsan.
*****
Mata Tisha perlahan terbuka. Ia masih belum sadar apa yang terjadi. Seingatnya tadi ia sedang dihukum di lapangan. Namun sekarang ia tidak mengenali dimana tempatnya berada.
Saat Tisha melirik ke sampingnya, ia melihat seniornya yang sedang memperhatikannya.
"Payahh.. "
Tisha membulatkan matanya. Apa maksud seniornya berkata seperti itu padanya?. Tisha langsung memperbaiki posisi tidurnya menjadi terduduk.
"Apa maksud kakak bicara seperti itu?" tanya Tisha berani.
"Apa perlu saya mengulang perkataan saya tadi?, saya rasa saya sudah mengatakannya dengan sangat jelas. Atau ada masalah dengan pendengaran kamu?" tanyanya seraya memasang wajah datar.
Emosi Tisha memuncak. Tega-teganya seniornya itu berkata seperti itu di depan Tisha yang jelas-jelas baru saja bangun dari pingsan akibat perbuatan seniornya itu. Tisha mencoba untuk bersabar.
"Terimakasih atas ucapannya kak. Saya kira kakak tidak perlu perhatian pada saya dengan membawa saya ke tempat ini. Dan satu hal ya kak, setelah kakak memberi hukuman pada kami yang BERSALAH, kami rasa bukan disiplin yang kami dapat. Tapi PENYIKSAAN yang kami dapat. Saya sangat menyesal tadi tidak sempat berontak saat kakak menghukum saya. Tenaga saya terbuang sia-sia untuk menuruti permintaan kakak tadi. Tapi sudahlah, saya memaafkan kakak kok." kata Tisha seraya tersenyum sinis dan melangkah keluar dengan keadaan sempoyongan.
Tisha merasa sangat lelah hari ini. Di Rumahnya, ia harus mengerjakan pekerjaan rumah yang terbilang sangat banyak. Dan di sini, ia harus berlari sampai ia jatuh pingsan. Ia tak tahu apakah setelah ini seniornya menyuruhnya untuk menyelesaikan hukumannya, ataukah berbaik hati untuk menyudahi hukumannya. Ia melihat teman-temannya yang lain yang juga jatuh pingsan padahal mereka baru menyelesaikan 2 putaran. Tisha hanya bisa menghela nafas melihat pemandangan itu.
Sementara Rio, seniornya yang tadi menghukumnya, mengikuti langkah Tisha sembari tersenyum. Ia merasa tertarik dengan juniornya itu.
*****
Vote dan komennya dong bestie‘︿’
Vote dari kalian sangat berharga untuk aku;)
KAMU SEDANG MEMBACA
LATISHA
Ngẫu nhiênAku hidup dengan 2 orang wanita yang sangat aku sayangi. Ibu, dan kakakku. Namun setiap kali aku bersamanya, aku tak pernah merasakan kasih sayang dari mereka. Mereka seolah tak pernah menganggapku ada. Setiap kali aku melakukan sesuatu, itu semua s...