Prolog

1.8K 146 7
                                    

"Baru dateng, Shan?"

Seorang wanita yang baru datang itu mencuri perhatian hampir setiap orang yang berada disana. Seolah-olah, badannya punya magnet tersendiri yang membuat auranya memancar lebih menarik dari siapapun dan apapun.

Dia yang menggukanan jaket oversize, rambutnya dikuncir kuda tersembunyi dibalik topi baseballnya. Celana biru selutut dengan garis putih dipinggirnya, dan sepatu putih.

Bercak lumpur dari sepatunya masih terlihat samar, jaket yang ia gunakan pun tampak basah di beberapa bagian.

Dia hanya menoleh sekilas untuk sapaan tadi, tak menjawab pertanyaan itu namun langsung duduk di pinggir lapangan. Membuka tas untuk mengambil sebuah buku, mulai membaca.

"Dingin seperti biasanya, ya?" Keluh salah satu gadis yang diangguki 2 lainnya.

"Dan sedikit sombong." 1 lainnya berbisik.

Saat itu semester ketiga di SMA Nusa. Namun semester pertamaku di sekolah ini sebagai murid pindahan.

Dan saat itu adalah pertama kalinya aku bertemu dia.

Umurku 16 tahun dan dia 17 tahun. Kami sama-sama kelas 11. Bukan dia yang pernah tidak naik kelas, namun aku yang terlalu cepat bersekolah.

Hari ke-6 di bulan Januari dan Hujan. Tak masalah, sekolah ini punya lapangan indoor sehingga air hujan tak akan berani memasuki area tempat kami berlatih.

Pantulan bola, gesekan antara sepatu dan lapangan menimbulkan decit yang menimbulkan efek geli pada telinga, juga tabrakan antara bola dan ring terdengar terus menerus.

Pandanganku tak terarah pada yang lain selain dia.

Kepalanya menunduk, tanganya memegang lembaran di pangkuannya dan sesekali membaliknya untuk berpindah halaman.

"Dia ace tim basket sekolah ini." Kepalaku menoleh pada Ci Desy. Tetangga sekaligus teman sekelasku yang tiba-tiba berbisik.

"Oh ya?" Tanggapku masih setia mengamatinya.

"Iya, bahkan turnamen Provinsi kemarin dia bikin heboh karena Dunk-nya. Masuk majalah Iriz lagi." Kepalaku seketika menoleh padanya. Sangat jarang pebasket wanita yang bisa Slam Dunk. Di Indonesia khususnya.

"Tubuhnya gak terlalu tinggi. Rata-rata perempuan Indo gitu."

"Emang. Tapi lompatannya tinggi. Dia bisa melompat setinggi 3/4 badan gue."

"Kok aku gak tahu, sih?" Sampai masuk majalah paling populer di Nusantara, tapi aku sama sekali tak mengenalnya. Bagaimana bisa? Kepalaku menunduk. Mencoba mengingat siapa tau ada gambaran wajahnya muncul di otakku. Tetapi nihil. Aku merasa bahwa ini pertama kali aku melihat wajahnya.

"Sibuk ngangkat derajat keluarga kan lo." Katanya sambil tertawa.

5 meter disampingku sepertinya  para gadis yang sedang mengobrol itu juga menaruh atensi padanya. Menggosip tentang dia mungkin?

"Gaada yang lebih dekat dengan dia, kecuali Kak Viny."

"Kapten Viny?"

Sayup-sayup kudengar obrolan mereka. Bukan bermaksud menguping, namun mereka memang berkata dengan intonasi suara yang terdengar cukup jelas dari tempatku duduk.

"Viny? Siapa dia?" Batinku

Aku kembali memandang dia. Sampai kemudian seseorang datang pada kami-aku dan ci Desy yang membuat aksi mengamatiku terputus.

"Gracia, ya?"

Aku mendongak, kemudian mengangguk. memandang gadis yang kini tersenyum padaku.

"Hai, kep." Aku menoleh kepada ci Desy sebelum kembali menaruh atensi pada sosok yang berdiri di depanku.

"Hai, Desy."

Rambutnya sebahu, postur tubuhnya tinggi dan ramping. Jersey tim basket putri melekat sempurna di badannya, ada nomor 23 tercetak di celana. Senyumnya ramah sekali, matanya ikut melengkung selaras dengan bibirnya, Charming.

"Aku Ratu Viny. Kapten tim Basket putri SMA Nusa. Kamu panggil aku Viny aja." Katanya sambil mengulurkan tangannya yang langsung kujabat.

Oh dia Kapten Viny.

"5 menit lagi kita pemanasan." Katanya setelah mengecek jam ditangannya. Lagi- lagi aku mengangguk sambil tersenyum bodoh,  mulai bangkit untuk bergabung bersama lainnya.

Viny berlalu menuju dia yang kuperhatikan langsung mengalihkan perhatiannya dari buku saat kapten basket kami menghampirinya.

Dia segera membereskan bukunya, melepas jaketnya hingga nampak jersey biru klub basket SMA Nusa bernomor punggung 05 yang ia kenakan nampak pas melekat dibadannya.

Dari postur tubuhnya saja bisa kutebak kalau posisinya di tim ini pasti adalah Forwarder.

Pandanganku masih padanya yang sedang melepas topi, rambut kuncir kudanya bergerak-gerak tertiup angin, ia berlari kecil hingga ikut bergabung untuk pemanasan bersama kami.

Hari itu aku mengetahui namanya.

Shani.

Bagus kan?

🏀TBC 🏀

Three [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang