Aku Pergi ---2

8 2 0
                                    

-Minggu, 27 Februari 2018
  Tak seperti biasanya, hujan deras terus menerus setiap harinya. Ini kan bulan Februari, ini bukan bulannya hujan. Hujan memang tidak adil ya, dia selalu saja datang seenaknya. Aku tahu, hujan itu rahmat, tapi kan ini setiap hari, jadi aku tak bisa menikmati petang dengan background yang berwarna jingga seperti biasanya. Mungkin hari ini, cukup segini yang kutulis. Hari ini tak ada cerita, sangat sangat membosankan. Handphone baruku belum datang juga, Papa bilang akan kirim sekarang, tapi belum datang juga. Argh. Aku tak sabar menunggu.
                                                                                        Yura,-

Ting..tong...
Bel rumah berbunyi. Aku bergegas turun ke bawah.

"Yaaaay! Akhirnya handphone baruku datang!!". Aku berteriak sambil membuka pintu sangking senangnya.

"Permisi.. maaf mengganggu waktunya". Pria itu memberikan sebuah amplop tak berperangko. Aku yakin pasti itu surat dari ayah.

"Terimakasih". Aku segera menutup pintu dan kembali ke kamar.

"Apa-apaan ini! Ini hanya amplop kosong! Apa orang itu salah memberi amplop?". Aku berlari lagi, menyusuri tangga dan segera keluar rumah untuk mencari pria yang mengantar surat itu.

"Ah sial sial sial. Ia sudah tidak ada. Bagaimana ini. Oh tidaaak!! Aku sudah keluar rumah tanpa seizin Mama dan Papa. Aku pasti akan dimarahi. Terlebih lagi, aku dimana. Aku tersesat. Siapapun, tolong aku". Aku berjalan menyusuri jalan yang tadi kulalui. Tapi aku tak  bisa mengingat arah ke rumahku.
            
"Hei, sepertinya kamu tersesat". Sahut seseorang di sebrang jalan.

"Ya..sepertinya begitu. Ya, ya, sampai jumpa".

"Hei! Bagaimana jika aku membantumu?!". Tawarnya.

"T-tidak usah. T-tidak perlu. Aku sudah ingat jalannya. Ya, aku sudah ingat". Jawabku gugup.

"Tak perlu berbohong jika tak pandai berbohong".

"T-t-tidak, aku tidak berbohong sama sekali".

"Jadi, bagaimana jika kubantu kau mencari jalan pulang?." 

"Tidak. Aku bisa sendiri".

"O-oh, oke baiklah. Aku tidak memaksa. Lihat saja seberapa kuat kau berjalan dengan ketakutan seperti itu." Dia tertawa dan terus memerhatikanku berjalan.

"Yaallah, semoga aku bisa pulang secepatnya."

"Nahkan, kamu kembali lagi kesini. Artinya, kau tak tahu jalan pulang. Biarkan aku membantu."

"Tidak! Aku yakin kau orang jahat!."

"Bagaimana bisa persepsi itu datang. Aku bukan orang jahat. Ayo aku antar. Tapi sepertinya hari mulai gelap, hujanpun akan turun lagi."

"Lalu bagaimana?. Aku ingin pulang."

"Bagaimana jika kau menginap dirumahku?".

"Hah?! Kau gila! Aku ingin pulang!". Mataku mulai berkaca-kaca dan aku sangat panik.

"Ibu kemarilah. Dia tersesat. Aku tahu rumahnya dimana. Dirumah yang besar itu bu! Tapi dia mengira aku orang jahat". Teriaknya pada ibunya yang tengah menyapu teras rumah.

"Hei kamu tak boleh berteriak seperti itu. Biar ibu saja yang antar." Ibu itu menghampiriku dan segera menuntunku untuk pulang.

"Nnah, Ibu ingin tanya, mengapa kamu bisa tersesat? Apa ini pertama kalinya kamu keluar rumah nak?". Terlihat dengan jelas, bahwa ia adalah seorang ibu yang baik dan lemah lembut. Dia terlihat sangat penyayang, entah mengapa aku begitu nyaman didekatnya.

Ketika Bicara Tak Lagi DiperlukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang