Baru saja Atsushi ingin mengisi perutnya yang kosong sejak bangun tidur karena kesiangan dan tidak sempat sarapan, tetapi, ia malah disuguhi pemandangan yang-- err, tidak mengenakkan(?). Lihat saja, pria bersurai coklat itu hampir saja ingin menggantung dirinya di pohon mangga sebelah kantin-- lagi.
Jika pengurus kantin tidak melihat dan mencegahnya, bisa-bisa nyawa pria itu, Dazai, melayang menuju dimensi lain yang abadi.
Entah apa yang ada di pikirannya. Jika orang-orang ingin mencoba bunuh diri di tempat yang sepi dan tertutup, mengapa Dazai memilih di tempat ramai dan terbuka? Apa ia hanya ingin mendapat perhatian? Tapi, Atsushi pikir, Dazai melakukan itu bukan untuk mendapat perhatian dari orang-orang semata. Mungkin ia memiliki sebuah alasan yang tidak diketahui oleh dirinya.
Kini, Dazai tengah dibentak oleh Kunikida yang baru saja datang ke kantin atau dapat disebut sebagai Tempat Kejadian Perkara setelah pengurus kantin menceramahi Dazai dan kembali lagi ketempatnya untuk mengurusi para warga sekolah yang lapar.
Tanizaki yang sejak awal berada di samping Atsushi, menarik tangan teman sekelasnya tersebut untuk mendekati kerumunan yang tak kunjung bubar-- atau lebih tepatnya, mendekati Kunikida dan Dazai.
"Yo, Tanizaki-kun, Atsushi-kun~"
Acuh tak acuh adalah sikap Dazai ketika lagi-lagi Kunikida mencengkram kerah seragamnya dan mengguncang-guncangkannya sambil mengoceh walau yang diceramahi tidak mendengarkan.
"Ee ... yo, Dazai-senpai." Tanizaki sweatdrop, tentu saja.
Kunikida menghempaskan badan Dazai ke tanah, membuat yang dihempas ber-aw ria. Lantas berjalan kearah Tanizaki dan Atsushi. "Aku bahkan tidak percaya kalau takdir harus mempertemukanku dengan pria macam Dazai."
"Aku juga tidak percaya. Dia pria yang langka-- huh?" Atsushi sweatdrop ketika iris matanya melihat Dazai yang malah berbaring di tanah tanpa rasa malu.
"Biarkan dia. Urat malunya sudah terpotong sedari kecil."
"Senpai, mungkin 'terpotong' bukan kata yang cocok," ucap Tanizaki sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya, Kunikida-kun~ kesalahan kata dapat membuat orang lain stress lho~"
Atsushi semakin sweatdrop melihat Kunikida menggoreskan penanya diatas lembaran buku kecil kesayangannya.
Ingin mati saja rasanya.
"Uso dake do~"
Pena yang Kunikida pegang langsung terbelah dua, lantas menarik kerah Dazai dan mengguncangnya untuk kesekian kalinya.
Entah kenapa, rasa lapar Atsushi jadi hilang. Baru saja ia hendak berbalik badan dan kembali ke kelas jika matanya tidak mengarah pada laki-laki yang pernah ia lihat sebelumnya,
"Akutagawa."
Walaupun dengan volume kecil, Tanizaki tetap bisa mendengar Atsushi bergumam. Lantas ia menoleh pada laki-laki bersurai perak disampingnya. "Apa?"
"Ti-tidak," ucap Atsushi sambil tersenyum tipis, lalu berjalan sedikit menjauh, "aku mau ke ... kamar mandi dulu."
"Baik."
***
Laki-laki yang Atsushi ikuti memang berjalan menuju kamar mandi pria. Bukan dalam bentuk kata-kata memang, tetapi bahasa tubuhnya cukup membuat Atsushi paham kalau Akutagawa menyuruhnya untuk mengikutinya.
Akutagawa berhenti di depan cermin besar didalam kamar mandi, membuat Atsushi dibelakangnya ikut berhenti.
"Ada apa kau membawaku kesini?"
"Satu pertanyaan." Akutagawa masih dalam posisi membelakangi Atsushi, "kau ini siapa?"
"A-atsushi Nakajima."
"Darimana kau berasal?"
"Hei, bukankah kau hanya memberiku satu pertanyaan?"
"Jawab saja, payah. Atau ...." Dengan cepat Akutagawa berbalik badan, lalu mendorong Atsushi ke tembok.
Wajah Atsushi jelas langsung memerah dengan hidung mereka berdua yang hanya berjarak beberapa centimeter. "A-apa yang kau lakukan--"
"Seharusnya pertanyaan dibalas dengan jawaban, bukan pertanyaan dibalas dengan pertanyaan." Akutagawa menatap netra Atsushi lamat-lamat, membuat yang ditatap langsung mengalihkan wajah.
Oh, ayolah, baru beberapa hari ia disini. Apa-apaan tentang berdua-duaan di kamar mandi seperti ini? Para siswi yang fujoshi pasti akan berbunga-bunga melihat mereka berdua seperti ini.
Ah, lupakan.
Memberontak? Percuma saja. Cengkraman Akutagawa terlalu kuat di pergelangan tangannya. "Lepaskan aku, Akutagawa!"
Tanpa ia duga, ternyata berhasil. Akutagawa tidak lagi mencengkram tangan Atsushi. Ia pun kembali membelakangi Atsushi, menutup mulutnya untuk menahan batuk. "Akan ada misi nantinya, dan siswa Port Mafia akan dipasangkan dengan Armed Detective Agency."
Atsushi mengangkat salah satu alisnya. "Jadi?"
"Kau ini tidak peka, ya?"
Atsushi mengendikkan bahu. He, masa bodoh dengan masalah seperti itu.
"Kau akan jadi partner ku, kan?"
"Ah, ngomong, dong, dari tadi." Atsushi terkekeh, "tidak."
"Uhuk!" Percayalah, batuk kali ini bukanlah dari penyakitnya, "kenapa?"
"Hei, apa kau lupa dengan kejadian tadi!?" Yah, pipi Atsushi memerah kembali.
"Terserah kau saja," ucap Akutagawa mengendikkan bahu. Ia merasa seperti ... err, kecewa? Tapi, berharap lebih itu tidak baik, ia tahu itu.
Atsushi merasa janggal lho. Tubuhnya berkata ya, tetapi hatinya berkata tidak. Oh, tapi, ayolah ... Akutagawa tidak akan melakukan hal semacam itu, kan? Ia hanya susah bersosialisasi sehingga tidak memiliki teman--
"Aku mau."
Huh? Mata Akutagawa membesar. Jujur saja, ia berusaha mati-matian untuk tidak tertawa.
Anggukan ia berikan sebagai jawaban, lalu pergi begitu saja meninggalkan Atsushi.
--Tapi, apa pemikirannya itu benar? Apa jawaban 'aku mau' itu adalah pilihan yang baik?
Entahlah.
Mari lihat, apa yang akan terjadi selanjutnya?
-To be continue-
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate and Destiny
FanfictionTakdirnya berubah ketika kakinya tidak diizinkan masuk kedalam panti. Ia bertemu dengan pria berperban itu, dan yang kebetulan atau entah bagaimana, ikut dipertemukan dengan rivalnya. Atsushi, laki-laki bersurai perak itu masuk ke The Gifted Academy...