lima

8 4 0
                                    

Aku masih marah dengan El. Seharian ini aku emosi dibuatnya. Lihat saja, aku tidak akan ke rumahnya sebelum El meminta maaf. Egois memang. Aku juga bersalah karena membentaknya. Aku juga tidak menuruti perkataannya. Tapi setelah kupikir-pikir, El benar. Ada yang aneh dengan Ren. Aku tidak boleh percaya begitu saja. Toh selama ini aku hanya mencoba ramah. Tidak terlalu percaya, sih.

Aku tidak mempunyai teman dirumah ataupun disekolah. Temanku hanya El. Dimana pun aku selalu bersamanya, tapi toilet pengecualian. Aku tidak menyukai orang disekolah ku. Yang kuat memerintah sedangkan yang lemah di tindas. Aku tidak pernah membully. Menurutku semua orang itu sama. Aku tidak dibully karena El. Ia selalu melindungi ku. Ia sahabat sekaligus tamengku.

Walaupun marah, aku tetap menganggap El sahabatku. Dia juga begitu. Ia sangat tertarik dengan sains dan forensik. Tak ayal jika ia sering memenangkan kompetisi sains. Ia berbeda. Dan aku menyukainya.

Bicara tentang sekolah, satu minggu lagi liburan selesai. Dan kalian pasti tau artinya, yaa, aku akan belajar bersama orang-orang bermuka dua yang suka menindas. Aku bisa saja mengabaikan mereka. Tapi tindakan terang-terangan dalam menindas membuatku risi. Aku ingin turun tangan, namun El selalu mencegahku. Aku tau bila aku turun tangan, aku juga akan ditindas. 'membantu = mengganti' jadi siap-siap saja menjadi korban selanjutnya. Ahh, sekolah swasta semua sama. Mungkin sekolah negeri juga begitu.

Aku merebahkan tubuh ke atas ranjang. Nyaman. Mungkin ini alasan orang-orang suka rebahan. Kuambil ponsel di nakas dan mengetikkan sesuatu.

'Ren'

Kutekan tombol search pada layar dan banyak sekali akun dengan nama Ren. Tak mau ambil pusing, kututup dan kumatikan ponselku. Kupeluk guling dan kututup mataku. Say 'hay' to dream world!

Cahaya mentari membasuh wajahku. Entah bagaimana bisa masuk. Terakhir kuingat, tak ada celah untuk cahaya itu masuk. Korden dirumahku sudah kututup. Tunggu, ini bukan kamarku. Tempat ini sungguh familiar. Ku putar ingatanku. El. Ini rumah El, pantas saja familiar. Tapi, kenapa aku bisa berada disini!? 

“Aaa, bangsat! Apa-apaan kau!? Kau ingin membunuhku, huh!?” Selagi berfikir, terdengar teriakan dari ruangan lain. Tanoa aba-aba, aku berlari menuju ruangan itu. Ruang medis. Kubuka tidak yahh? Kupegang ganggang pintu, hendak ku buka.

“Siapa kau sebenarnya!? Kenapa kau bisa mendapatkan pistol jenis Glock Meyer 22 seperti ini? Ini bukan barang legal yang biasa dijual dipasaran. Katakan atau kutembak kau dengan pistolmu sendiri!” kuintip mereka melalui lubang kunci.

“Tidak tau.”

“Jawaban salah. Itu bukan jawaban yang ku inginkan” El mengongkang pistol itu.

“Lalu? Apa untungnya aku menjawab pertanyaan itu? Kau tidak mungkin membunuhku, karena..” Ren segera bangkit dan mengambil alih pistol itu. Mengunci tangan El dan mendudukkannya. Sekarang posisi mereka berubah seratus delapan puluh derajat. Ren tersenyum penuh kemenangan.

“Hahhaha, sudah kubilang kan, kau tidak mungkin membunuhku.” ia menaruh ujung pistol di pelipis Rey.

“Sialan kau!?”

“Apa-apaan ini!?” kubuka pintu dan membantingnya dengan keras. Mereka menatapku. Kutatap mereka tajam.

Tak mau hilang kesempatan, El segera memberontak dan mengambil pistol itu. Tanpa ba-bi-bu ia menekan pelatuk dan peluru mencuat mengenai dada Ren. Darah segar bercucuran. Aku berdiri memaku. Merasa trauma dengan kejadian tadi. Tubuhku limbung, aku pingsan.

Mataku terbuka. Kuamati sekeliling. Aku dirumah. Itu tadi hanya mimpi. Aku terlalu lelah makanya bermimpi. Sudah jam tujuh. Aku kesiangan. Kuturunkan kaki ku, hendak melangkah namun kepalaku pening. Aku pusing, hampir saja aku jatuh terduduk, seseorang memegang ku. Samar. Ku kerjabkan mataku berkali-kali hingga pandanganku jelas.

light in the darkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang