Karomah yang paling besar (dari Allah untuk hamba-Nya) adalah menetapi istiqomah (yakni terus menerus dalam ketaatan kepada-Nya)
02 Oktober, Turki.
Di salah satu sudut Anatolia, terhampar sebuah bangunan berbentuk kerucut dari keramik berwarna turquoise. Pada bagian atapnya terlihat kubah-kubah, dilengkapi dengan beberapa menara yang menjulang tinggi menampilkan kesan gagah Mevlana Museum.
Tak jauh darinya, berdiri seorang gadis berabaya jingga dekat taman mawar sembari mendengar alunan Nay, musik khas Persia yang biasa mengiringi tarian Whirling Dervish. Irama itu seolah menawarkan kesyahduan di sekitar taman cinta ajaran sang sufi agung, Jalaluddin Rumi.
Bola mata hijau itu miliknya mengerling, memperhatikan lalu lalang manusia yang tak kunjung henti melakukan ziarah di maqbarah yang berada di dalam sana.
Perempuan itu mengaitkan jari jemari, lalu detik berikutnya ia mulai melangkah, melewati makam-makam para Mevlevi. Tepat di tengah makam yang sedikit menjorok ke bawah ruangan, tatapannya terjatuh pada dua makam besar terbalut karpet berwarna keemasan, lengkap dengan nisan yang terbalut sikke. Di sekitarnya terdapat tembok dipenuhi kaligrafi yang tak ia pahami. Para pengunjung berdiri sembari merepal doa-doa.
Kedua tangan gadis itu lantas tergenggam ke depan, matanya mulai terpejam, lalu ia mulai berbincang pelan ....
"Rumi, ke manakah kekasihmu yang selalu kau sebut dalam bait-bait puisimu itu? Ke manakah kekasihmu yang telah berhasil membuatmu mengosongkan jiwa hanya untuk-Nya? Tunjukkan kepadaku di manakah Dia berada? Bolehkah aku tak percaya, Dia yang kau sebut sebagai cinta, telah mengambil segala bahagia yang kupunya."
Gadis itu membuka mata bersamaan dengan kristal bening yang menetes singkat. Dengan segara ia langsung pergi, meninggalkan makam tersebut dan berjalan mencari pintu keluar sambil menetralkan kemarahan pada semesta. Dadanya sesak saat harus mengingat kembali pada kehilangan yang menyesakkan. Kehilangan yang membuatnya patah tak berkesudahan.
"Pertanyaan itu sudah rusak sejak awal. 'Di manakah Dia berada?' Padahal segala sesuatu yang melekat padamu saja tak bertempat. Apakah kamu mengetahui segala sesuatu itu dalam dirimu, sehingga kamu menanyakan tempat-Nya?
"Karena perasaan dan pikiranmu tak memiliki tempat bagaimana mungkin persemayaman Allah bisa ditemukan? Bagaimana pun juga, pencipta pikiran lebih subtil daripada pikiran itu sendiri. Itu jawaban Rumi, kan?" Seorang laki-laki berbola mata hitam pekat, entah dari kapan berdiri di sebelah gadis itu. Bibirnya mengembang sembari mengulurkan minuman kaleng padanya. Pemuda itu duduk, kemudian disusul oleh sang gadis yang memutuskan bergabung di sana.
"Semua pikiran dan keadaan ini melewatimu, namun kamu tidak tahu dari mana ia datang, ke mana ia pergi dan apa yang dia lakukan. Jika kamu tak mampu melihat keadaanmu, bagaimana mungkin kamu mampu berharap untuk melihat penciptamu?" lanjutnya. Laki-laki itu meneguk minuman yang tadi baru dibuka. Pandangannya masih fokus memperhatikan taman-taman mawar di depan sana. Mevlanin Sehir selalu menjadi tujuan utama bagi para pencinta.
Sedangkan gadis berambut hitam panjang di sebelahnya, berusaha mencerna segala ucapan seseorang yang tak dikenal itu. Namun nahas, ia belum bisa memahami perkataan Rumi kecuali hanya sedikit. Jawaban-jawaban yang belum pernah didengar seolah menjadi tugas Filsafat yang harus segera diselesaikan dan dikumpulkan lembar jawabannya.
Mulai nulis ini September 2019. Semoga suka ^^
Yang paling penting sebelum lanjut membaca, perlu diingat bahwa akun ini tidak menerima debat baik di kolom komentar maupun DM, bila nanti ada yang mulai maka akan dihapus. Bila merasa tidak suka, sila tinggalkan dan cari yang sepaham. Simpel, kan. 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] Filsafat Cinta (Completed)
Spiritual*Jalaluddin Rumi "Rumi, di manakah aku dapat melihat Tuhanmu? Di manakah Dia yang telah berhasil membuatmu lupa terhadap dunia? Dia yang kau sebut sebagai cinta telah mengambil segala hal yang kupunya." Pertanyaan pada Sufi itu, berhasil mempertemu...