Aku tak dimiliki oleh agama mana pun. Agamaku adalah cinta. Setiap hati adalah rumah ibadahku.-Maulana Jalaluddin Rumi
Perempuan berkemeja cerulean serta celana levis hitam, memperhatikan lalu-lalang manusia di Cairo International Airport yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Sebagian dari mereka terlihat buru-buru sementara sebagian lain ada yang terlihat tenang sembari menunggu jadwal keberangkatan atau menunggu jam kepulangan.
Di sebelahnya, berjalan seorang laki-laki berpakaian rapi mengenakan kemeja denim lengan panjang yang terlipat sampai siku, menyeret koper biru muda miliknya. Setelah sampai di depan FIDS, langkah mereka terhenti. Pandangan milik perempuan itu berganti fokus menatap jadwal keberangkatan maskapai yang berada pada sebuah layar yang besar.
"Kopernya aku bawa, Kak." Menit berikutnya, Ayas mengambil alih koper miliknya dari laki-laki berhidung mancung itu. Badannya membungkuk ke depan. "Dan makasih udah mau aku repotin." Bibir merah mudanya mengembang manis.
"Yas, dengar saya baik-baik." Suara Nabil terdengar lebih serius daripada sebelumnya. Tatapannya terlihat lebih tajam dari biasanya. Bahkan baru kali ini pemuda itu menatap tepat pada mata Ayas. Sebelumnya Ayas tak mengerti kenapa pandangan Nabil selalu menghindar dari netra miliknya.
"Saya tak pernah memaksamu untuk beragama. Saya menolongmu bukan karena kamu mau masuk ke dalam agama yang saya anut, saya tak peduli meski kamu Agnostik atau apa pun. Sesama manusia bukankah harus menolong tanpa perlu bertanya keyakinan mereka?
"Lalu, saat saya pulang nanti ada baiknya kamu kembali berpikir. Mematangkan kembali niatmu untuk menggapai cinta Tuhan. Ah ya, bila nanti sudah sampai Indonesia beritahu Silky. Nanti dia yang akan menjemputmu," ujar Nabil.
"Tapi, Kak—" Ayas menggigit bibir bawahnya, pelan. Ia bingung. "Dengan cara Kakak memintaku untuk tinggal di asrama, berarti tanpa secara langsung Kakak menyuruhku untuk mempercayai Tuhan, kan?"
Nabil menggeleng. "Nggak. Kewajiban kamu cuma bertemu dengan mereka sebentar. Lalu setelah itu kamu putuskan sendiri untuk menetap di asrama meyakini apa yang kami imani atau tinggal di kost-an dengan mempertahankan kepercayaanmu. Apa pun keputusan kamu, saya tetap menghormati itu."
Ayas terkejut. Sebelumnya ia tak pernah menjumpai seseorang sebaik Nabil. Jujur, Ayas suka dengan cara Nabil bertoleransi. Ayas suka cara Nabil menghargai yang tak seiman.
"Makasih, Kak. Aku akan berpikir baik-baik dan mengingat semua ucapan Kakak. Sekali lagi makasih untuk semua kebaikan Kakak." Ayas tersenyum lagi.
"Dan Ayas, kamu mau janji satu hal sama saya?" tanya Nabil.
Dahi Ayas berkerut. "Janji apa, Kak?"
"Jangan pernah menangis lagi. Apa pun yang terjadi nanti. Apa pun yang akan kamu temui. Ada banyak ujian-ujian yang nanti akan kita lewati, ada banyak kegelapan yang akan kita singgahi, dan ada banyak kesulitan yang akan menghampiri. Saat itu tugas kita hanya menggantungkan semuanya pada Tuhan yang telah mencipta langit dan bumi." Nabil menghentikan ucapannya, menatap gadis di depannya dengan tatapan penuh arti.
Kalaupun nanti kamu masih memeluk paham agnostisisme itu, bergantunglah pada diri sendiri, Yas. Karena sesungguhnya, bergantung pada orang lain hanya akan berakhir kecewa. Batin Nabil.
Ayas mengangguk seraya tersenyum simpul. "Aku janji. Aku nggak akan menangis lagi. Aku akan lebih kuat dari kemarin dan aku akan berusaha untuk nggak akan pernah mengecewakan Kakak." Ayas berucap tegas.
"Kakak juga harus janji, saat nanti aku melakukan kesalahan jangan pernah membenciku. Ajari aku bagaimana melangkah dengan cara yang benar."
"Saya umat dari Rasul yang memiliki kasih. Beliau tak pernah mengajari untuk membenci dan memaki. Bahkan pada siapa pun," tandas Nabil.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] Filsafat Cinta (Completed)
Spiritual*Jalaluddin Rumi "Rumi, di manakah aku dapat melihat Tuhanmu? Di manakah Dia yang telah berhasil membuatmu lupa terhadap dunia? Dia yang kau sebut sebagai cinta telah mengambil segala hal yang kupunya." Pertanyaan pada Sufi itu, berhasil mempertemu...