Salah satu tanda kerinduan Dia terhadap hamba adalah dengan diberikannya ujian, agar kita kembali mengingat pada Dzat yang seharusnya tak pernah dilupa.
Masa beranjak begitu sangat cepat, sepertinya sudah sekitar seminggu Ayas menghirup udara kota Jogja. Pada siang dan malam dihabiskan untuk belajar tentang bagaimana memahami Islam dan muslim yang sesungguhnya. Muslim yang padanya, seseorang merasa damai saat berada di dekatnya.
Pada salah satu perguruan tinggi Jogja, Filsafat menjadi prodi pilihan. Melanjutkan semester sebelumnya dan kembali berbaur dengan materi-materi pemikiran yang selalu berhasil menarik perhatian yang tak kunjung membosankan.
"Astagfirullah, cincin aku ke mana, ya?" Salah seorang santri sibuk mengeluarkan beberapa pakaian dari lemari. Wajahnya terlihat cemas saat barang yang dicarinya tak kunjung ditemui.
"Perasaan, semakin hari semakin banyak barang-barang yang hilang di kamar ini," gerutu Tiara. Perempuan itu duduk di depan lemari seraya menata pakaian yang baru saja diambil dari jemuran.
"Kalung aku juga belum ketemu." Salsa yang sedang melipat kerudung di sudut kamar menyahuti.
"Coba inget baik-baik. Mungkin kalian lupa naruh atau—"
"Mbak Silky, menurutku adakan penggeledahan lemari aja. Udah seminggu lho kamar kita pada kehilangan barang. Kalau Gus Adam sampai tahu, nanti malah satu kamar yang kena." Suara Tiara meninggi memotong ucapan Silky. Tersirat nada emosi yang memenuhi egonya kali ini.
Ayas yang sedang membaca buku 'Sebelum Filsafat' milik Fahruddin Faiz di dekat pintu, melirik ke arah mereka.
"Ya sudah, nanti saya adakan pemeriksaan lemari," putus Silky mengalah.
"Nanti? Ya sekarang lah, Mbak." Tiara terdengar tidak sabar.
"Sabar coba, Ra. Lagian yang bertugas juga keamanan. Kamu buru-buru aja kayak kuda," kritik Salsa.
Ayas kembali mengalihkan pandangannya pada buku yang masih terbuka. Seminggu di kamar ini tak mengerti bagaimana sikap Tiara yang sebenarnya. Namun, di antara banyaknya teman di kamar, Tiara adalah satu-satunya orang yang sepertinya enggan mengajak Ayas meski hanya sekadar berbincang. Tiara bak misteri dalam lautan dalam, diselimuti deburan ombak yang kencang dan cukup mengkhawatirkan.
"Ayas, keluar, yuk," ajak Salsa. Selain Silky, Salsa adalah orang kedua yang dianggapnya menjadi keluarga.
Ayas langsung berdiri sembari menutup buku miliknya. "Ke kantin aja, yuk. Jangan dengerin Tiara, ya. Dia emang kayak gitu," tutur Salsa saat mereka sudah keluar dari kamar dan berjalan menyusuri koridor asrama.
"Kadang sungkan. Entah cuma perasaanku atau emang bener kalau Tiara nggak suka sama aku," ujar Ayas.
"Kalaupun dia benci, emang kamu rugi? Nggak, kan? Yang penting bukan kamu yang benci dia. Orang yang hatinya diliputi kebencian, hidupnya nggak akan pernah tenang, Yas." Salsa tersenyum.
Setelah sampai di sudut koridor, mereka mengambil sandal dan berjalan beberapa meter menuju kantin asrama mahasiswi yang terletak di belakang gedung kamar mereka. Tak lama dari itu terlihat kedai kecil dipenuhi makanan-makanan lokal yang sederhana.
Salsa dan Ayas memesan Siomay dan teh manis. Setelah penjaga kantin mengiyakan, mereka duduk di salah satu kursi kayu yang menghadap tepat pesawahan. Asrama terasa semakin syahdu dengan dilengkapi pemandangan natural dari alam yang tak pernah mengecewakan. Sesekali dengung mesin pesawat terdengar, melangkapi syahdu Jogja yang selalu istimewa.
"Yas, kamu kenal Fahmi?" tanya Salsa tiba-tiba.
"Iya, Fahmi itu temenku." Ayas tampak tak suka pembahasan kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] Filsafat Cinta (Completed)
Spiritual*Jalaluddin Rumi "Rumi, di manakah aku dapat melihat Tuhanmu? Di manakah Dia yang telah berhasil membuatmu lupa terhadap dunia? Dia yang kau sebut sebagai cinta telah mengambil segala hal yang kupunya." Pertanyaan pada Sufi itu, berhasil mempertemu...