Bab 01 || Pojok Kairo

1.4K 100 0
                                    

Jalan terbaik adalah menuju jalan-Nya, langkah terbaik adalah mencari rida-Nya dan pelabuhan cinta terbaik adalah cinta yang bertasbihkan nama-Nya

Embusan angin malam di kafe Al-Fishawi yang tak jauh dari masjid Al-Azhar, mengibarkan sedikit rambut perempuan bernetra hijau yang sedang menunggu pramusaji menyiapkan teh. 

Di depannya, duduk seorang laki-laki berusia sekitar 21 tahun mengenakkan hoodie putih serta celana hitam tengah mengeluarkan diktat dari ransel.

Usai melewati gang-gang sempit antara bangunan kuno di pasar Khan Al-Khalili, kini kedua insan itu sudah tiba di tempat kedamaian Al-Fishawi. Bangunan interior kafenya masih mengusung gaya Mesir asli. Terlebih kafe itu terlihat semakin manis saat lampu bersinar malam hari, mendominasi tempat bercat kuning redup yang menambah kesan vintage ala Al-Fishawi.

Pada salah satu dindingnya tertempel sebuah lukisan cat minyak besar dilengkapi pernis berwarna cokelat tua. Cermin berbingkai emas dengan motif arabesque pun menggantung di dalam ruangan, membuat kafe tersebut sangat banyak dikagumi oleh banyak pelanggan yang datang. Al-Fishawi sering menjadi tempat sebuah pertemuan, pelarian dan tongkrongan beberapa mahasiswa yang butuh istirahat dari beberapa kegiatan membosankan.

Tak lupa pengamen dengan komposisi darbuka dan oud pun menyanyikan lagu-lagu milik Umi Kultsum yang menambah kesan romantisme ala Al-Fishawi.

Suasana syahdu bak surga, tak aneh bila seorang sastrawan asal Mesir—Naguib Mahfoez—bisa produktif menulis novel-novel, sampai mendapat penghargaan nobel dalam bidang sastra pada tahun 1988.

Saat perempuan itu sedang khusyu memperhatikan desain bangunan di sana, seorang pramusaji datang membawa pinggan kuningan berisi teko putih yang di dalamnya terdapat teh, dua cangkir kosong berbahan enamel serta dilengkapi dengan semangkuk gula dan daun na'na¹ segar. Selain itu, dia juga meletakkan kue Tart atau biasa disebut Karkadey berwarna merah layaknya kembang sepatu lengkap dengan adas manis dan limun segar.

Laki-laki yang tadi sibuk membaca diktat itu mulai meraih cangkir kosong, menaruh daun na'na ke dalam kemudian disiram dengan air teh. Aroma segar seketika menyeruak menyegarkan indra penciuman. Sedang gadis di depannya mencoba mengikuti apa yang dilakukan laki-laki itu dengan sangat terampil. Pemuda bernama lengkap Nabil Fuadi tersebut menyesap tehnya sedikit, lalu menulis sebuah catatan pada kertas putih kecil.

Beberapa detik kemudian kepalanya mendongak sembari menyodorkan kertas tadi pada perempuan bernama lengkap Ratu Larissa Abelia di depannya.

"Besok pulang 'kan? Ini alamat pesantren paman saya. Saya sudah bilang pada mereka bahwa kamu adalah teman saya," ucap laki-laki bernetra hitam pekat itu.

Gadis yang lebih akrab disapa Ayas itu menarik kertasnya dengan ragu. Sesungguhnya, ia masih bimbang dengan keputusan yang akan diambil saat ini. Bukankah memutuskan untuk beragama akan memutuskan memilih hal sulit? Kemudian ia pun harus mengikuti peraturan-peraturan serta prinsip yang tak pasti, mengimani doktrin tentang keagamaan yang tak pernah sekalipun terlintas di otaknya.

"Pesantren itu tempat belajar agama, kan?" Ayas memastikan. Sungguh gadis itu tak banyak tahu tentang istilah-istilah dalam Islam.

"Ya. Tepatnya yayasan untuk memperdalam agama Islam," jawab Nabil lembut.

"Tapi, Kak, kamu yakin kalau aku mampu?" Ayas menatap kosong kertas yang dipegang saat ini. Lalu kedua matanya kembali menatap lekat Nabil. 

Pemuda itu mengembangkan bibir merahnya. "Saya tak pernah memaksamu untuk beragama. Semua keputusan ada di tanganmu, Yas. Saya pun tak bisa menyalahkan kepercayaanmu. Kamu mengimani kepercayaanmu pasti seperti saya mengimani kepercayaan saya," jawab Nabil. Laki-laki itu tahu bahwa kepercayaan adalah hak asasi manusia dan sebuah hak adalah mutlak.

Nabil meyakini bahwa di dunia ini ada beberapa hal yang tak boleh dipaksakan dan salah satunya adalah kepercayaan.

"Jangan paksakan kalau belum siap. Agama kami tak pernah meminta orang lain untuk masuk ke dalamnya dengan paksaan dan ancaman. Setiap manusia memiliki asumsi tentang dirinya sendiri dan apa yang akan dikehendakinya, kan?" Lagi-lagi pemuda berambut sedikit gondrong itu memamerkan senyumnya.

Ayas mengangguk paham. Gadis itu meletakkan kertas di atas meja, kemudian tangan kanannya meraih cangkir teh dan mulai menyesapnya sedikit demi sedikit.

"Ah ya, nanti saya bilang pada Ammi² Adam untuk mendaftarkanmu di Universitas mana pun kamu mau di Jogja. Pesantren kami strategis, kamu tak perlu khawatir telat saat mendapat kelas pagi.

"Nanti di asrama, kamu akan bertemu Silky. Insya Allah dia yang akan menemani kamu," imbuhnya.

"Silky?" Sebelah alis Ayas terangkat.

"Iya. Dia tunangan saya," sahut Nabil singkat.

Ayas terkejut. Untung saja tehnya sudah berhasil tertelan. Gadis itu tak tahu bahwa laki-laki pemilik rahang tegas di depannya sudah bertunangan. Namun, Ayas ingat bahwa tujuan beragamanya bukan untuk Nabil. Ia tak perlu kecewa.

"Semoga aku bisa berteman sama dia," ungkap Ayas sembari menaruh kembali cangkir ke atas meja.

"Pasti. Dia sangat baik. Kamu pasti nyaman berteman sama dia." Nabil meyakinkan.

Gadis itu mengangguk, lalu menunduk. Dibacanya tulisan tangan Nabil yang sangat rapi. Di sana tertera nama Nadwatul Ummah yang berada di kota Jogja.

Nabil menutup diktat yang tadi dibaca. "Sekarang habiskan tehnya, setelah itu saya antar kamu ke syaqoh³. Besok kita ke bandara."

Ayas mengangguk patuh. Saat ini yang dia punya hanya Nabil. Di negeri para nabi ini, Ayas tak mengenal sejengkal pun tentang gang-gang kecil di Kairo, pedagang roti yang enak atau tempat liburan yang menarik. Ia tak mengenal siapa pun selain Nabil.

"Izzayk ya Nabil? (Bagaimana kabarmu, Nabil?)" Seorang laki-laki berkemeja hitam panjang menghampiri mereka. Wajahnya terlihat sumringah saat benar-benar sudah mendekat ke arah Nabil.

Ayas dan Nabil menoleh bersamaan. Nabil langsung berdiri dan tersenyum saat mendapati salah satu kawan asli Mesir sekaligus teman satu fakultas di Universitas.

"Kwayyis el hamdulillah. Enta amil eih? (Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana?)" Nabil berbalik tanya menggunakan bahasa Amiyah⁴.

"Tamam elhamdulillah, (Baik alhamdulillah,)" sahut Yousuf.

"Dia siapa, Nabil?" Yousef menunjuk Ayas.

Gadis itu tersenyum kaku, tak mengerti bahasa yang digunakan mereka.

"Ah, dia teman saya dari Indonesia. Namanya Ayas."

"Saya kira dia kekasihmu."

"Hidup ini Matematika, jangan hanya pakai perkiraan," kritik Nabil.

"Baiklah, sampai bertemu besok, Nabil," kata Yousef.

Setelah berbincang sedikit, laki-laki bernama Yousef itu langsung pergi ke dalam meninggalkan Nabil dan Ayas yang masih di sana.

Setelah teh mulai mendingin, Nabil mengajak Ayas untuk pulang. Pada daerah Darrasah, Nabil menetap tinggal di sana. Bangunan-bangunan lusuh cokelat muda Kairo yang terlihat senada, kali ini berhasil membuat perempuan itu bertanya-tanya tentang bagaimana mempercayai Tuhan, korelasi antara Tuhan dan agama dan tentang keputusan yang akan diambil serta konsekuensi yang akan didapatnya.

Saat kemarin ia berada di tengah-tengah antara tidak mengimani dan tidak juga mengingkari, sekarang Ayas mulai memutuskan hal yang selalu menjadi pilihan sulit dalam hidupnya. Pilihan yang sebelumnya tak pernah diduga akan diambil saat ini.

*Note

1. Daun mint
2. Sebutan 'paman' dengan menggunakan bahasa Arab
3. Flat atau tempat tinggal
4. Bahasa daerah

Pict : Pinterest

Bila ada kesalahan, sila koreksi dengan baik ya, teman-teman 😊 Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komentarnya ❤

Salam

[3] Filsafat Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang