Setengah berlari, Kin membawa kakinya pergi semakin jauh. Tidak peduli kalau jalanan yang ia lalui becek setelah hujan sejak semalam dan baru usai di pertengahan hari. Yang ada di pikirannya, ia harus segera pergi. Tak ada waktu untuk sekadar melepas lelah, meskipun dadanya berdebar kencang tidak karuan, napasnya pun sudah tersengal-sengal. Ia tidak boleh berhenti di sini, setelah pergi sejauh ini dari rumahnya.
Tak mempedulikan gamisnya yang kotor dan basah karena gerimis, Kin tetap berjalan cepat. Kaki-kakinya sudah serasa berjalan di atas beling. Sakit dan perih.
Dia tidak akan mau dipaksa untuk menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak dia sukai. Mungkin Ahmad memang punya banyak uang. Keluarganya juga banyak yang mengenal. Tapi Kin tidak akan sudi dinikahi laki-laki itu. Di depan mata kepalanya sendiri, Kin pernah melihat lelaki itu berbuat tak senonoh pada seorang perempuan di desa mereka. Orang-orang pasti tahu itu, tapi memilih tutup mulut. Mereka tidak ingin berurusan dengan keluarga Ahmad yang terkenal tidak mau tahu itu.
Ahmad memang tampan, kalau dibandingkan pemuda lain di desanya. Tampan, punya banyak uang, pasti banyak yang mau. Mungkin itu sebabnya, perempuan yang Kin lihat tempo hari mau untuk dibuat tidak berdaya oleh Ahmad. Karena Kin tahu, perempuan itu adalah janda yang butuh uang untuk membiayai hidupnya setelah bercerai dengan suaminya belum lama ini. Kin tahu itu.
Kin memang bukan orang yang berpendidikan tinggi. Dia hanya tamatan SMA, tapi otaknya jalan untuk tahu, mana yang baik dan mana yang buruk. Dia juga masih punya hati yang berfungsi dengan baik. Ada ego dan juga harga diri yang ingin ia junjung tinggi-tinggi. Meski tak berpendidikan tinggi, setidaknya Kin ingin pendamping hidupnya nanti tahu agama dan tahu bagaimana memperlakukan wanita.
Keluarganya bukan keluarga kaya raya, tapi juga bukan keluarga berkekurangan yang harus hutang sana-sini untuk mencukupi kebutuhan. Tapi entah apa yang kakaknya lakukan, sampai menerima tawaran menikah untuk Kin dari Ahmad. Ini jelas-jelas sebuah pemaksaan. Kin tidak akan mau menikah karena terpaksa. Pernikahannya pun tidak akan sah kalau tidak ada keridhoan dari diri Kin sendiri. Mereka seharusnya tahu itu.
Langkah kakinya terhenti setelah Kin tersandung batu. Ia meringis kesakitan. Hujan juga lama kelamaan semakin deras. Ia ada di jalanan sepi di dekat sawah dan juga kuburan. Tidak ada orang yang bisa dimintai tolong.
Sambil meringis menahan sakit, Kin kembali melangkahkan kakinya. Menyeretnya tanpa mempedulikan pakaiannya semakin basah dan kotor.
Lalu ... cahaya lampu sorot dari motor yang datang dari depannya membuat Kin segera menyingkir dari badan jalan. Sekarang memang masih sore, tapi hujan dan juga kabut membuat jalanan tak begitu terlihat. Orang-orang harus menyalakan lampu kendaraan mereka kalau tidak mau menabrak sesuatu atau kesulitan di tengah perjalanan.
Motor itu berhenti tak jauh dari dirinya. Kin semakin mempercepat menyeret kakinya. Kin tidak tahu siapa orang itu. Bisa saja itu adalah Ahmad.
"Lepas!" Teriakannya seolah sia-sia. Cengkeraman di lengan kirinya begitu kuat. Kin memukul-mukul tangan itu. Meminta untuk dilepaskan.
"Mau kemana kamu?"
Suara itu membuatnya berhenti bersikap brutal. Kin tertegun.
"Mas Pras?"
"Mau kemana kamu?"
Pertanyaan itu kembali membuat Kin tersadar. Ia melepaskan lengannya dari cengkeraman tangan besar lelaki itu.
"Mau pergi," ujar Kin dengan suara lirih. Ia menunduk sekarang. Tak berani menengadahkan kepalanya sama sekali.
"Kemana?"
Pertanyaan menuntut itu tidak akan berhenti kalau Kin tidak menjawab dengan sejujurnya. Tapi Kin tidak mau mengatakannya. Kepalanya justru bergeleng. Lalu memeluk dirinya sendiri.
"Kamu kabur dari rumah?"
Kin tersentak. Ia langsung mendongak. Menatap dalam buram lelaki yang merupakan kakak dari sahabatnya itu.
"Mas ... aku harus pergi."
Kakinya kembali diseret dengan cepat. Kin harus cepat pergi, sebelum keluarganya sadar kalau dirinya menghilang dari rumah dan berusaha mencarinya.
Itu tidak akan bagus. Dia sudah sejauh ini. Tapi pergi tanpa tujuan juga bukan ide yang bagus. Kin sama sekali tidak tahu harus kemana saat ini. Tidak ada sepeser pun uang yang ia bawa. Hanya pakaian yang melekat di tubuhnya yang ia bawa dari rumah. Boro-boro mengingat uang. Kin pergi saat kondisi rumahnya mulai sepi karena hujan. Tidak ada orang yang menyadari dirinya menyelinap keluar tadi.
"Aku antar."
Kin kembali berhenti. Ia menoleh untuk melihat sosok lelaki itu. Lelaki yang masih berdiri dan basah kuyup, seperti dirinya.
Hujan benar-benar makin deras. Kin bahkan mengabaikan fakta bahwa dirinya mudah terserang flu saat terkena air hujan.
"Kamu mau kemana? Aku antar."
Kin berpikir sejenak. Membiarkan Pras mendekat ke arahnya dan berdiri menjulang di hadapannya.
"Mas, bawa aku ke tempat Hesti, Mas. Tolong."
***
Typo?
Hallo! Aku bawa cerita baru. Semoga kalian suka dan sabar menunggu. Karena cerita ini on going. Sama seperti sebelumnya, kadang ada yang sudah ditulis, kadang belum. Jadi mohon bersabar untuk kalian yang menunggu kelanjutannya.
Ini berbeda dengan yang sebelumnya?
Iya! Karena aku mencoba sesuatu yang baru. Aku ingin menantang diriku untuk lepas dari zona nyamanku menulis selama ini. Kalau aku berhasil menulis cerita ini sampai selesai dan kalian suka, itu akan jadi pengalaman berharga.
Selamat menunggu~
Respitaningrum
2 Januari 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat (COMPLETED!) - Diunggah Kembali di Karyakarsa
Ficção GeralCOMPLETED! Diunggah kembali di Karyakarsa * * * Kirana namanya. Tapi, orang-orang memanggilnya Kin. Lebih singat dan mudah, katanya. Hidupnya tak lagi mudah setelah sang ayah meninggal dunia. Keluarganya ingin ia menikah dengan seorang anak dari ora...