Terikat 3

32.1K 3.7K 190
                                    

Ada yang tak mampu ditolak oleh Kirana di dunia itu. Yaitu takdir yang digariskan Tuhan untuknya.

Dia datang ke rumah ini, bukan untuk bertamu atau main dengan Hesti seperti sebelumnya. Melainkan untuk merepotkan Hesti dan keluarganya.

Dia sudah berganti pakaian dengan yang lebih layak setelah membersihkan diri. Teh hangat sudah dihidangkan di hadapannya. Juga semangkuk bubur kacang hijau hangat yang masih mengepulkan asap.

Di sampingnya, Hesti membantu mengusap-usap rambutnya yang masih basah. Beraroma sampo yang lembut dan wangi. Milik Hesti, tentu saja. Dia menumpang di sini sekarang. Tapi sahabatnya tak keberatan, keluarganya juga menyambutnya dengan begitu baik. Seperti pada anak sendiri.

"Kamu pasti lapar, Kin. Makan dulu buburnya, nanti kita keluar setelah rambut kamu kering," ujar Hesti lembut.

Kirana hanya tersenyum dan mengangguk. Ia memang lapar, karena sejak semalam, perutnya belum diisi oleh apapun. Terlalu sibuk memikirkan cara pergi dari rumah sampai akhirnya nekat menembus hujan sore tadi.

"Nanti kamu cerita, ya, kenapa kamu bisa sampai kayak gini?"

"Pasti, Hes. Aku nggak mungkin minta numpang di sini kalau aku nyembunyiin cerita ini dari kalian," tuturnya cepat. Ia mungkin akan semakin merepotkan kalau terus di sini. Tapi Kirana tidak punya tempat tujuan lain. Saat pergi dari rumah pun, di dalam pikirannya tak terlintas satu tempat pun untuk ia datangi sebelumnya.

"Udah, sekarang dimakan dulu. Perut kamu dari tadi bunyi. Kamu nggak sadar apa?" Hesti terkikik geli saat mencolek lengan sahabatnya. Mengajak gadis itu untuk kembali tersenyum, meski dirinya tahu, Kirana pasti sedang dalam masalah besar sekarang.

***

Saking seringnya datang ke rumah ini, Kirana jadi tidak canggung lagi dengan seluruh penghuni rumah ini. Tapi ada satu orang yang membuatnya sedikit takut. Kakak kedua Hesti. Laki-laki yang terkenal buruk itu tak biasanya ada di rumah. Ikut duduk bersama mereka sejak makan malam tadi.

"Kin, kamu boleh tinggal di sini kalau kamu mau. Pakde nggak bakal ngelarang kamu. Toh kamu udah Pakde anggap anak sendiri. Tapi ... Pakde mau tahu, kenapa kamu kabur dari rumah. Boleh?"

Pertanyaan itu ditanyakan dengan nada yang begitu lembut. Seperti suara mendiang ayahnya dulu. Kirana rindu ayahnya. Kalau ayahnya masih ada, apakah dia akan merasakan hidup seperti ini?

Bergerak gelisah, Kin mengusap-usap gelas teh hangatnya. Mencoba mencari ketenangan agar hatinya tak lagi merasa ketakutan.

"Ngomong aja, Kin. Bapak pasti mau bantu kamu," kata Tiara, kakak ketiga Hesti yang duduk di samping kirinya.

Lalu, meski tersendat-sendat karena takut dan juga malu, Kirana menceritakan semuanya. Tentang keluarganya yang ingin ia menikah dengan Ahmad. Laki-laki yang jelas dikenal ayah Hesti karena mereka sering bekerja sama untuk urusan bisnis. Meski berperilaku tak baik, tapi bisnis keluarga Ahmad tidak berada di pola yang negatif. Mereka bahkan sering membantu warga yang membutuhkan. Tapi, mungkin karena itulah, kebaikan mereka jadi disalahartikan. Imbalan yang mereka inginkan bukan lagi dari segi materi.

"Astagfirullah! Pak, keterlaluan banget mereka. Emangnya kamu nggak ngomong itu sama keluarga kamu, Kin?" Ibu Hesti, Kin biasa menyebutnya Ibu, sama seperti Hesti, bertanya dengan ekspresi kesal.

Kirana terdiam. Ia berganti memilin jilbab yang ia kenakan.

"Itu kan aibnya Ahmad, Bu," ujarnya lirih. Lalu desahan kecewa terdengar.

"Kin, Ibu tahu kamu baik banget. Tapi orang kayak gitu kalau nggak ada yang nanggapin, nanti makin ngelunjak. Seenggaknya kamu udah ngomong sama ibu kamu sama kakak-kakak kamu. Jangan diem aja," perkataan itu diucapkan dengan lembut. Kirana semakin menunduk.

Terikat (COMPLETED!) - Diunggah Kembali di KaryakarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang