PROLOG - Problematika

2K 176 20
                                    

"Jadi kapan lo mau nikah? Makin tua makin bahaya loh buat perempuan."

"Lo sih, standarnya ketinggian. Dikenalin ke temen gue kemarin sok jual mahal."

"Apalagi sih yang lo cari? Uang banyak, harta ada, nyari laki-laki yang jenisnya kayak apa lagi sih lo?"

"Udahlah, Ra. Banyakin doa sama jangan suka nolak laki-laki."

Aku rasanya kenyang setiap hari harus mendengar ocehan berkonten nikah dan laki-laki seperti ini. Pertanyaan langsung dari teman-teman kantor, geng SMA, hingga geng kuliah. Belum lagi yang pakai embel-embel, "Emangnya nggak kasihan sama orang tua kamu yang mau gendong cucu?" Wait, bahkan ibu dan ayahku tidak pernah membicarakan tentang jodoh di depanku, apalagi cucu.

Aku sampai sekarang masih tidak bisa mengerti mengapa umur seseorang itu bisa didiskretkan telat menikah, perawan tua, tidak laku, bahkan penyuka sesama jenis. Padahal kayaknya di buku tentang pernikahan juga nggak pernah ada maksimal umur buat menikah, kalau minimal pasti ada diketentuan perundang-undangan. Tapi manusia yang jumlahnya hampir tujuh milyar di dunia ini menganggap bahwa menikah itu punya umur khusus. Lewat dari umur itu maka siap-siaplah kalian dihujat dari segala penjuru lintas pertemanan hingga keluarga. Bahkan orang yang nggak kita anggap teman juga akan ikut-ikutan berkomentar. Kayak merasa sudah kenal lima belas tahun sampai memberi wejangan tentang hukumnya menikah di mata agama.

Bagi seorang Inara Aditi, pernikahan itu bukan hanya menemukan sosok pria lalu mengiakan hidup bersama setelahnya. Proses meyakinkan diri untuk menikah itu panjang dan tidak dijamin selesai dalam satu atau dua bulan saja. Sampai sekarang aku masih tercengang dengan orang-orang yang bisa menikah setelah dua bulan pacaran. Apalagi tanpa pacaran! Bahkan aku merasa tidak mengenal pacarku yang terdahulu di tiga bulan pertama.

Pasangan dan menikah itu bukan hanya soal tampan, mapan, dan nyaman. Lebih dari itu, ada istilah yang ku kenal dengan nama deal breaker. Well, aku mengenal istilah ini dari podcast 'Bacotan Pria' di Spotify yang membuatku harus berkelana di mesin pencari google untuk menemukan makna deal breaker sesungguhnya. Deal breaker menurutku pribadi adalah circumstances pasangan yang tidak bisa aku toleransi. Berisikan apa saja yang bisa aku terima dan tidak bisa aku terima dari pasanganku kelak. Misal, pria yang aku temui ini berbeda agama. Ini termasuk deal breaker yang artinya nggak akan pernah bisa aku toleransi. Parahnya, I have more circumstances that wouldn't be tolerance.

Aku menganalogikan deal breaker sebagai terms and conditions sesuai dengan apa yang aku butuhkan dan inginkan. Kenapa harus begitu? Karena aku hanya ingin menghabiskan sisa umurku dengan pria yang jika bersamanya aku tak perlu menjadikan dua kata yaitu tidak cocok sebagai bumerang di kehidupan kami dan membuat kata cerai itu mudah terucap. Simpelnya, ya aku ingin bersama suamiku hingga akhir hayat.

Banyak yang beranggapan, "Buat apa sih, Ra? Syarat begitu cuma bikin lo lama nikah karena nggak nemu laki-laki yang lo mau". Well, balik lagi ke keyakinan diri. Aku hanya tidak ingin terjebak dalam toxic relationship karena menerima 'apa adanya' seseorang (begitupun sebaliknya) untuk hidupku selanjutnya yang ujung-ujungnya merugikan dua belah pihak. Karena bagiku, pasangan itu bukan sesuatu yang bisa main terima saja. Jadi jomlo tidak selamanya mengenaskan dan kemudian harus mengiakan pria manapun yang disodorkan.

Aku banyak dikenalkan oleh orang-orang terdekatku dengan berbagai jenis pria. Ya, well, aku termasuk orang yang kurang percaya the power of dating apps (if you've heard about Tinder, Badoo, Tantan, and others). Bagiku, pencarian lewat aplikasi beginian bikin aku takut sendiri. I can't talk to stranger like intensively through social media and meet all of sudden. Nggak bisa saja gitu, takut hal-hal buruk terjadi dan aku tipikal wanita yang cukup insecure setiap kali bertemu orang-orang baru.

Jomlo bagiku tidak cukup menjadi beban masalah, lebih beban saat mendengarkan titah bosku yang menuntut target 35 milyar untuk tahun 2019, which is tahun ini. Kepalaku serasa membutuhkan Panadol setiap malam demi menemani otak menyusun agreement, bikin konsep terbaru, mikirin klien yang bisa diprospek, hingga hampir mati saat menyusun report.

Aku seorang manager bussines development di salah satu start up berbasis pengelolaan event yang berkantor di Jakarta. Nggak usah heran di umurku yang baru 26 ini posisiku sudah manager karena di start up rasanya sah-sah saja. Aku juga masih jadi kacung dari atasanku. Jadi business development mungkin belum pernah masuk dalam cita-citaku, seorang wanita lulusan biologi salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang. Bahkan skripsiku tentang pengaruh pemberian pupuk terhadap pertumbuhan bawang merah saja tak pernah ada hubungannya dengan strategi membidik event terbaik yang bisa aku prospek dan memberikan cuan fantastis. Kenapa aku tidak memilih menjalani profesi di ranah biologi? Kalau itu mudah dan menjanjikan, aku pasti sudah melakukan itu, percayalah.

Aku harus puas dengan hidup di rantau sejak zaman kuliah. Kedua orang tuaku di Batam dan kini aku sendirian di Jakarta. Bahkan karena aku tingal terpisah begini, sempat ada celetukan gak penting yang berbunyi, "Coba kamu tinggalnya sama orang tua, pasti udah dijodohin deh. Lama banget nikahnya." Sampah banget, kan? Oh ya, usiaku 26 menjelang 27 sekarang. Silakan simpulkan apakah aku kandidat yang tepat untuk masuk 'Geng Perawan Tua' versi masyarakat.

Balik lagi ke pasangan. Seberapa keras orang-orang terdekatku menjodoh-jodohkan, belum tentu aku bisa mengiakan. Aku akan selalu menghargai niat baik mereka, namun bukan begini caranya menyerahkan hidup tanpa adanya pertimbangan yang matang. Karena menikah bukan semata-mata soal usia yang tak lagi muda, melegalisasi seks dan 'grepe-grepe' saja atau malah parahnya sebagai status yang bisa dipamerkan ke khalayak.

Masihbanyak syarat dan ketentuan yang menurutku bukan disikapi secara gegabah.Kondisi keuangan baik dengan segala tetek bengeknya, lalu mental, rasamemiliki, rasa nyaman, dan cinta itu penting bagiku. Semua ada waktunya, karenapernikahan bukan perkara gengsi saja. Kalau makan gengsi, mungkin sekarang akusudah booking Gedung Tribrata diDharmawangsa dengan pria manapun yang temanku sodorkan.



Hai!
Aku balik lagi dengan cerita baru. Senang nggak? Hehe
Semoga suka dengan cerita ini ya. Aku membawa Inara Aditi dan topik toxic relationship untuk kalian yang sedang ingin membacanya, kalian yang sedang mengalami atau bersama dengan mereka yang mengalami, ataupun kalian yang sedang jatuh cinta.
Selamat jatuh cinta sekali lagi dengan tulisanku yaaa. 

Love,
Nimas

Jejak Sedu dan Jenaka dalam KotaWhere stories live. Discover now