Tenggelamnya matahari mengharuskan diriku berhenti sejenak. Tuan menegaskan agar di malam hari aku dapat beristirahat dengan tenang. Padahal jika bekerja dua puluh empat jam, semuanya akan cepat berakhir.
Oh, mungkin tuan hanya tidak ingin kesehatanku memburuk dan mengganggu proses. Tindakan tuan memang selalu benar.
Pisau yang tertancap pada dada pria kepala lima, aku cabut. Sebelum mengikatnya pada kain, noda di ujung pisau harus dibersihkan. Setelah itu aku membawa masuk kepala lima ke ruangan berdebu. Tubuhnya kubiarkan menyender pada sebuah almari usang, dan menutupinya dengan terpal.
"Selamat tinggal, kita akan berjumpa dikemudian hari." Lantas aku melangkah ke luar.
Langit hampir menghitam, bintang pun mulai bermunculan. Aku harus segera mencari penginapan sesuai anggaran yang tuan berikan. Aku berlari ke ujung gang. Lampu dari kios-kios kecil sangat menyilaukan. Riuh suara makhluk yang berlalu lalang ikut meramaikan festival.
Di tengah kesesakan ini, aku merasa terganggu. Panas . Ini tidak salah lagi. Aku berlari masuk ke dalam gang tadi berniat untuk menaiki tangga yang menuju ke atap. Jika aku menetap di antara banyak makhluk, bisa bahaya. Mereka akan kebagian dampaknya. Atap bukan solusi yang sebenarnya, tapi jarak untuk ke tanah lapang sangatlah jauh. Apa boleh buat.
Aku sampai di atap, dari sini terdengar suara bising dari tangga besi yang dipijak. Tiba-tiba bola api putih melesat kencang. Hampir saja kena. Seketika bola api itu menghilang. Seperti yang telah terjadi, serangan itu berfokus pada satu target. Ketika meleset, maka ia akan menghilang dengan sendirinya.
Masalahnya aku belum sempat menciptakan kubah perlindungan. Bagaimana bisa jika bola api terus menerus mengarah padaku. Mengerikan, bisa-bisa aku hangus.
Aku melompat dari bangunan satu ke bangunan lain. Bola api itu masih saja menjadikanku sebagai target. Kesal, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain terus menghindar dan melempar beberapa pisau kecil ke belakang.
Ku gunakan tangan sebagai tumpuan dari perputaran badan untuk melewati pagar. Sementara itu, kedua kaki bersiap mendarat di atap bangunan selanjutnya. Namun untaian jimat ini menghalangi. Untaian tersebut mengikat pergelangan kaki, menariknya hingga posisi kepala dengan kaki jadi terbalik. Akibatnya kepalaku terbentur pagar yang sempat dilewati, dan berdarah.
Menggunakan sebilah pisau, aku memutusnya, dan menyelamatkan diri dengan cara bergelantungan di ujung seng. Akhirnya kaki kembali berpijak, aku sempat khawatir seng tadi lebih rapuh dari yang diperkirakan.
Teras yang hendak aku lewati dikelilingi tanaman rambat. Dan benar saja, mereka hidup. Sayangnya tidak ada waktu untuk meladeni mereka. Aku melangkah mundur dan naik ke pembatas teras, kemudian menerjunkan diri. Tentu tumpukan sampah menjadi alasnya.
Tumpukan plastik tidak hanya di satu tempat, melainkan di sepanjang gang. Baunya pun tidak seperti sampah bekas makanan tersisa, popok bayi, dan sebagainya. Tapi dipenuhi bau dari pembusukan mayat. Lalat berterbangan, menemani mereka yang bernasib malang.
Tidak ada waktu lagi. Tubuhku semakin lemas dan harus menyegerakan rencana terakhir. Aku keluar dari gang, mencari seseorang yang bisa menjadi tumbal. Setidaknya manusia . Itu dia, wanita pirang yang sedang mengobrol dengan manekin anak kecil tanpa kaki. Aku menepuk pundaknya. Lantas berjalan sempoyongan mencari penginapan.
Melakukan hal ini sama saja merugikan bahkan mencelakai makhluk lain, mengingat apa yang akan ditanggung mereka. Mau bagaimanapun aku bersikukuh atas prinsip hidupku, tetap saja aku hanya manusia yang egois, yang menginginkan cinta tuannya hanya untuk dia seorang diri.
Dalam keadaan seperti ini, sudah menjadi kebiasaanku untuk melihat hal yang seharusnya tidak ada. Semua makhluk yang berada di sekitar menatapku intens, seolah bersiap untuk menerkam aku yang sudah berwujud lain. Tidak jarang aku melihat mereka bersama tatapan penuh kasih. Padahal aku tidak merasa kekurangan jika bisa bersama tuan saja sudah cukup.
Satu lagi, aku melihat keadaan sekelilingku begitu kelam. Mayat berserakan dimana-mana, bangunan telah rata oleh tanah, isakan tangis dari banyak makhluk berlomba-lomba untuk membuktikan siapa yang paling menderita di sini.
Keadaan seperti itu memang sudah tak asing, tapi ini jauh mengerikan. Aku merasakan rasa bersalah teramat dalam. Hilang sudah kesadaranku. Yang terakhir kali terlihat adalah dada seseorang yang aku tabrak. Sedangkan yang pertama kali terlihat ketika bangun adalah langit-langit berbahan kayu.
"Sudah baikan?" Ternyata rencanaku berjalan mulus lebih dari yang aku kira. Pria yang berdiri di ambang pintu ialah bedebah sial yang membuatku terlambat tidur. Aku khawatir tuan akan kecewa melihatnya.
Tangan ini ingin segera menghajar pria yang sok prihatin dengan kondisi orang lain. Sayangnya dia adalah salah satu dari makhluk yang sempat berkaitan dengan tuan. Artinya memang aku harus merenggut nyawanya tapi tidak sekarang. Untuk dapat berhasil mengirim mereka ke tempat singgahan, diharuskan untukku mengetahui apa yang mereka alami.
Rasanya sangat membosankan, semuanya hampir sama. Tidak jauh dari ketamakan, nafsu, iri hati, dan hal negatif lainnya. Kali ini aku sedikit berterima kasih pada pria itu, karenanya tidak ada pengeluaran untuk satu malam menginap di tempat yang penuh bau alkohol.
Selepas itu dia mengajak untuk berkeliling desanya yang sangat jarang didatangi turis. Aku mengiyakan saja dan segera mencari-cari keberadaan jaket kesayangan. Bodohnya, padahal saat ini aku sedang memakai wujud si wanita pirang.
Pria itu mengenalkan diri. Namanya adalah Strigi Formes, akrab dipanggil Fore. Dia merupakan keturunan dari orang mengurus desa. Lantas aku bertanya ada apa dengan kabin lusuh tadi? Yang aroma dari kayu penyangganya sudah menyengat.
"Desa ini sedang krisis ekonomi karena sesuatu." Di wajahnya terbentuk senyum pahit. Ekspresinya pun sok tegar, membuat geram.
"Lalu bagaimana dengan festivalnya? Lupakan saja, paling perihal rasisme. Apa aku salah?" Di dunia ini ada beragam jenis makhluk hidup. Yang berlabel "Manusia" dicap sebagai makhluk terlemah dan pengecut. Sebab banyak dari keturunan manusia tidaklah normal. Mereka tidak memiliki setidaknya satu kekuatan. Banyak dari mereka yang tidak ingin dipandang rendah oleh makhluk lainnya meminta pada tuan. Ya, merekalah yang kini harus aku hadapi.
Setelah itu kami mengunjungi beberapa tempat bersejarah dan hal unik lainnya. Seperti jalan yang ujungnya sangat jauh dan berada di ketinggian ratusan kaki dan beberapa paviliun kerajaan yang di kelilingi perairan dangkal. Kini kami sedang melintasi pemukiman kumuh yang ditinggali manusia.
Aku mengalihkan pandangan dari mereka yang menatapku kepada bukit dan tebing yang jadi latar belakang pemukiman ini. Kabut yang menyelimuti menambah daya tariknya.
Aku meniup kedua telapak tangan. Suhu di dataran tinggi ini sepertinya sangatlah rendah. Sampai-sampai dengan berada di dekat Fore pun belum cukup untuk menghangatkan diri.
Pria ini berhenti melangkah. Di depan sana ada sekumpulan ibu-ibu yang mengobrol. Ketika salah satunya sedikit menyingkir terlihatlah seorang gadis remaja awal yang rambutnya dikepang. Tidak ada yang aneh darinya, dari segi manapun dia nampak seperti manusia tidak normal.
Setiap makhluk mempunyai pemikiran dan urusan tersendiri. Tak terkecuali Fore, tatapannya tertuju pada gadis kepang. Raut wajahnya menunjukkan adanya kebencian mendalam. Kemudian dia melangkah maju. Aku pun membuntuti. Salah satu dari wanita berumah tangga itu merespon adanya hal tidak mengenakan bagi mereka.
Wanita bertudung itu teriak, "kau mau apa!?" Aku melihat samar cahaya putih pada tangan kanan Fore yang dikebelakangi. Fore semakin dekat dengan si gadis kepang. Tentu para ibu di sana menghalanginya.
"Apa sih? Apa yang mau kau lakukan dengan gadis suci ini? Tidak cukupkah dengan penderitaan makhluk se-ras mu sendiri? Kalau tidak becus, ya tidak becus saja. Tidak usah semuanya kau borong!"
Dari sini aku tau kalau ayah Fore telah gagal mengelola desa ini. Sebab diskriminasi yang telah ada sejak beratus tahun lalu dapat hilang dengan pimpinan yang berambisi untuk menyamaratakan semua jenis makhluk. Di beberapa daerah pun sudah dilakukan, hasilnya pun membawa lebih banyak kebaikan.
Seketika suhu naik turun. Pria ini akan melancarkan serangannya, tidak salah lagi. Dan itu pasti akan memberatkanku juga. Tersisa satu langkah lagi untuknya agar bisa mencengkram gadis kepang.
Di waktu yang sama, tanaman rambat melilit kaki Fore. Pria itupun kesakitan. Aku memanfaatkannya untuk membawa pergi makhluk gegabah ini. Tentu sebelum itu aku mengangguk permisi. Omong-omong, wajah si gadis kepang sedikit mirip denganku.
•••
#2a
KAMU SEDANG MEMBACA
½N
Fantasy[Cerita ini mengandung penggambaran kekerasan dan hal lain yang sensitif] || Genre: Action, Fantasy, Horror. || Tema: Kekosongan. || Blurb: "Ini semua demi tuan." Gadis itu mengunjungi berbagai belahan dunia demi suatu kepentingan. Sejujurnya, kepen...