Dendam Kesumat #2

53 9 4
                                    

Setiap titik sudut yang terbentuk di dalam ruangan ini terdapat jaring laba-laba. Kayu untuk kusen pintu dan jendelanya sudah keropos. Kebanyakan dari keramiknya telah retak, dan beberapa retakan itu hilang entah kemana. Sudah dapat disimpulkan bahwa ini tidak pantas disebut warung makan. Namun, lain halnya jika melupakan semua itu dan beralih pada makanan yang dijual.

Aromanya jelas membuat siapa saja ingin mencicip. Tampilannya juga menarik. Terlebih lagi harganya sangat murah. Mungkin hampir sebanding dengan tagihan penginapan selama satu hari, dan aku bisa memakan hidangan ini hingga puluhan kali.

"Hei, Pak botak, kenapa kau tidak menetap di wilayah tetangga saja? Dengan begitu kau bisa mendapat untung lebih banyak, lho!" Dia menggulung lengan bajunya. "Kau salah, Anak muda. Dengan berjualan di sini aku bisa membantu banyak warga yang kelaparan. Kalau tidak nyaman dengan kondisi bangunan kecil ini, kau bisa membawa pulang makanannya."

Pemikiran yang pendek. Padahal jika membuka usaha di Venerean, dia bisa panen uang. Lalu kembali pada alasan sebelumnya, warga yang ingin dia tolong maka akan sangat terbantu dengan uang itu. Daripada terus menjual makanan lezat berharga murah, pasti itu tidak akan bertahan lama. Dan, aku tidak rela untuk makan di tengah bau menyengat kayu lapuk. Siapapun pasti akan memilih makan di tempat ini sembari menonton si botak yang sedang menyajikan makanan lain bersama aroma lezatnya.

Di hadapanku ada seseorang yang sibuk melahap sebuah hidangan. Dia tidak menggubris kaki yang dari tadi menendang tulang keringnya. Sebenarnya sudah berapa lama dia tidak makan?

Sebelum mampir ke sini Fore marah besar. Pria ini melampiaskan amarahnya padaku sebab telah menghalanginya untuk balas dendam. Mengenai tanaman rambat yang mengikat pergelangan kakinya juga bukan perbuatanku. Aku menegaskan hal itu, tapi si bodoh ini tidak percaya.

Jelas sekali komitmennya dalam membalas dendam hampir mati. Dengan terikatnya pergelangan kaki bukan berarti jadi penghambat untuk bisa membakar hangus si gadis kepang. Dengan cara lain juga bisa, seperti meninju hingga babak belur, lalu memasukkan tanaman rambat berduri itu ke dalam mulut gadis kepang, atau mungkin menusukannya ke bola mata?

Omong-omong tentang mata, kini mata ikannya kembali bercahaya. Sebelumnya pernah terjadi juga, yakni saat berkeliling tadi. Karakter yang dimainkannya berwatak ceria dengan ambisi hidup yang luar biasa besar.

Entah itu adalah watak aslinya atau ekspresi di saat dia berusaha membunuhku. Yang mana?

Kasihan sekali, nampaknya pria malang ini telah dibutakan oleh dendam. Sampai-sampai dirinya tidak sempat melakukan hal favoritnya. Ini hal biasa. Makhluk yang mengenal tuan, hidupnya tidak jauh dari mimpi buruk. Atas bantuan tuan, hidup mereka sedikit terselamatkan. Hanya sedikit, sisanya tergantung pada diri masing-masing.

"Sesuatu itu ... predator?" Aku memulai percakapan. Fore tersenyum simpul. "Benar juga, kau pasti sudah melihat banyak mayat yang tergeletak dimana-mana. Bukan berarti tidak ada yang peduli sama sekali. Ini memang sulit diatasi. Sampai saat ini beberapa makhluk yang terlatih dan aku sendiri tengah mencari pelakunya."

Sontak aku terkejut, jangan bilang pelakunya itu si gadis kepang. Tapi dia adalah warga desa ini. Pastinya akan sangat mudah, bukan? Ditambah aku tidak merasakan apapun ketika berada didekat gadis kepang.

"Dia juga yang membunuh ayah sejak aku masih kecil. Dia juga yang telah mengendalikan ayah untuk menjadi pemimpin yang buruk. Dia juga yang telah membunuh wanita yang aku taksir. Dia yang telah menghancurkan keharmonisan di hidupku. Dia yang ... dia ... dia!"

Malangnya. Makhluk yang satu ini telah dibutakan oleh dendam. Dia berpikir dengan membunuh sang pelaku, masalah akan selesai. Padahal menyimpan sebuah dendam hanya akan membangkitkan lebih banyak mimpi buruk.

Hal ini perlu ditegaskan berulang kali, sebab efek buruk dari membalas dendam sangatlah mengerikan. Dari semua makhluk yang penderitaannya telah kupahami, banyak dari mereka mengalami hal serupa dan menemukan akhir yang menyakitkan. Hingga ajal menjemput, mereka tidak pernah menemukan ketentraman.

Kalau aku berada di posisi mereka, pasti aku memilih untuk melupakan kejadian tersebut. Biar yang telah terjadi berlalu, dan fokuslah pada jalanan berkabut yang harus dilintasi. Namun lain halnya jika pelaku tersebut memakan korban lain. Tentu tidak bisa dibiarkan, bukan?

Aku memandang Fore, jenuh. Dengan semua ini kurasa sudah cukup. Mungkin sudah saatnya mengakhiri penugasan kali ini. "Aku punya sebuah permainan." Di tangan kananku muncul sebilah pisau, lalu tangan sebelah kiri aku letakkan di atas meja dengan jemari yang merenggang.

"Mudah saja, pemain diharuskan untuk menaruh ujung pisau di sela-sela jemari. Dimulai ketika ujung pisau berada di antara ibu jari dan jari telunjuk. Kemudian memindahkannya ke antara jari telunjuk dan jari tengah, dan kembali ke awal. Seperti itu seterusnya hingga melewati semua sela-sela jemari. Aku membuat peraturan sendiri, yakni--"

"Itu sih aku sudah tahu. Bocah-bocah di sini sering memainkannya. Sedangkan aku sendiri sudah pernah mencoba menggunakan jangka. Sensasinya pasti tidak jauh beda, bukan? Dari pada itu, aku juga punya sesuatu yang layak dipertunjukkan, lho."

Dia memangku dagunya dan menyengir kuda. Aku terpaku akan hal itu, sehingga tidak sadar bahwa beberapa pisau kecil telah menempel pada pisau yang aku genggam. Tatapanku kembali padanya. Tidak lama kemudian aku berusaha untuk melukis bulan sabit di wajah wanita pirang ini. "Keren. Nampaknya aku lengah dan membiarkanmu menggosok pisau ini dengan sebuah magnet."

"Ya, 'kan? Pastinya dong siapa dulu ...." Selebihnya hanya ambisi yang mudah diruntuhkan hanya dengan tiupan angin semilir, layaknya milih anak ingusan. Hingga ketika waktu menunjukkan pukul empat sore, Fore mengajak untuk ikut menyaksikan atraksi yang beranggotakan beragam jenis makhluk. Lokasinya di tanah lapang dan dipenuhi banyak pengunjung. Rasa sesak yang kurasakan melebihi ketika berada di jejeran kedai kecil.

Tanah lapang ini dikerumuni ratusan makhluk yang hanya ingin menyaksikan pertunjukkan warna merah. Aku menyebutnya demikian karena hampir semua anggota yang melakukan atraksi berwarna merah terang dengan campuran kuning di beberapa sisi.

Mereka semua silih berganti untuk melakukan berbagai atraksi. Dimulai dari berloncat-loncat dari tiang satu ke tiang lainnya, sampai Koi yang melayang tinggi di udara sembari menjatuhkan banyak kelopak bunga. Tidak hanya kelopak bunga saja, ternyata ada air juga. Tapi ada yang berbeda, air yang menetes di pipiku ini berwarna merah darah. Aromanya pun bau amis.

Ternyata di langit terpasang sebuah kubah yang dipenuhi duri. Jelas tidak ada yang menyadari keberadaannya sebelum terluka akibat duri tersebut, seperti si Koi. Sebab warnanya menyatu dengan sekeliling. Atraksi diakhiri dengan pesta kembang api yang juga terdiri dari dua warna.

"Akhirnya selesai juga." Fore berucap ketika tempat ini sudah sepi dari pengunjung. "Tersisa satu lagi. Mari kita akhiri ini dengan cepat."

Untaian jimat mengikat pinggangku dengan kuat. Kulitku terkikis dan mengeluarkan darah akibat pinggiran dari jimat yang tajam. Sekeliling berubah menjadi tempat yang biasa digunakan untuk upacara adat. Aku berada di atas gundukan tanah, dikelilingi oleh obor yang tertancap di tanah, serta puluhan mayat yang berbau busuk. Gundukan tanah ini mengukir lingkaran besar dengan sendirinya. Motifnya sangat rumit dan aneh.

Di langit terbentang lingkaran juga. Serupa dengan yang aku injak. Tidak lama kemudian hawa panas mulai menyerang. Dari lingkaran di atas langit keluar bola api raksasa berwarna putih. Sedangkan dari bawah muncul lahar yang telah menggenang setinggi mata kaki. Sepertinya aku dikurung di sebuah tabung super besar.

Aku menciptakan puluhan lapis kubah yang siap melindungi dari bola api tersebut. Satu persatu mulai rusak karena gaya dorong yang amat besar. Sehingga aku perlu menciptakan semua itu kembali. Lahar pun sudah menenggelamkan lutut. Reaksi tubuhku tidak lebih dari kulit yang berdarah akibat bergesekan dengan aspal jalanan. Bisa gawat juga kalau lahar ini sampai menenggelamkan aku sepenuhnya.

Percuma saja aku menciptakan banyak kubah pelindung, jika tidak terpikir cara untuk keluar dari situasi ini. Hawa panas semakin terasa. Aku memandang ke bawah untuk kesekian kali, lahar telah mencapai pinggang. Penampilanku kembali pada wujud asli secara perlahan. Ternyata begitu, tidak hanya untuk penyamaran melainkan untuk hal seperti ini juga. Sangat bermanfaat!

•••

#2b

½NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang