IGY : 2/4

160 13 0
                                    

Pic by: Aiko.614

"Bruno adalah laki-laki yang akan bertunangan denganku selepas sekolah nanti." Ujar Lesley. Gusion menatapnya kaget.

"Kau serius?!" Pekik Gusion. Lesley memejamkan matanya.

"Ya, semua ini karena bisnis. Bisnis ayahku sedang terombang-ambing. Aku harus menikahinya untuk menyatukan perusahaan kami." Ujar Lesley. Gusion menggenggam tangan Lesley.

"Maaf, aku malah bicara yang menyedihkan." Ujar Lesley seraya menghapus air mata dari ujung matanya.

"Tidak apa-apa. Aku senang kau mulai terbuka denganku. Lesley, kau bisa ceritakan semua kesedihanmu padaku. Aku janji akan selalu siap mendengarkanmu." Ucap Gusion. Lesley tersenyum dan mengangguk.

"Sekarang, bagaimana kalau kita makan dulu? Sepertinya hujan membuatku lapar." Ujar Gusion. Lesley mengiyakan.

°°°

"Umm..kak, boleh aku bertanya?" Tanya Lesley hati-hati. Ia mengaduk coklat panas di hadapannya.

"Tentu saja. Ada apa?" Tanya Gusion.

"Kenapa kau tidak mau mengangkat telpon dari ibumu?" Tanya Lesley. Gusion terhenti dari aktivitas mengunyahnya. Ia lantas tersenyum.

"Kau sudah mulai peduli denganku ya?" Tanya Gusion.

"Eh? Aku kan hanya bertanya." Ujar Lesley. Gusion tertawa.

"Ibuku..pasti hanya ingin mengingatkanku tentang belajar belajar dan belajar. Ia hanya ingin aku sukses dan bisa memimpin perusahaan ayahku." Ujar Gusion.

"Aku bosan, lelah, dan frustasi. Tapi itu sudah menjadi tanggung jawabku." Tutur Gusion. Lesley terdiam mendengarkan. Ternyata hidup Gusion juga diliputi masalah. Lesley pikir selama ini hidup Gusion sempurna. Perempuan di sekitarnya, harta yang banyak, otak yang cerdas. Tapi ternyata ia telah salah menilai.

"Kakak sangat pandai menyembunyikan masalah rupanya." Ujar Lesley.

"Memangnya terlihat begitu?" Tanya Gusion. Lesley mengangguk.

"Semua orang pasti berpikir hidup kakak adalah yang paling sempurna." Ujar Lesley.

"Tidak juga. Buktinya perasaanku padamu tak kunjung dibalas." Ucap Gusion seraya cemberut.

Lesley memutar bola matanya jengah.

"Aku tidak berminat dengan playboy." Ucap Lesley. Gusion tidak dapat mengelak. Memang selama ini ia selalu dekat dengan perempuan. Gusion bahkan bisa berganti pacar dua kali dalam satu bulan. Tapi, ia tak pernah menaruh hatinya pada salah satu dari mereka.

Gusion telah jatuh hati pada Lesley, sejak lama. Katakanlah ia jahat, tapi memang kenyataannya, Gusion hanya menjadikan perempuan-perempuan itu sebagai pelarian. Ia hanya mencintai Lesley dan ia pun tahu bahwa Lesley sangat sulit didekati.

"Kalau aku berubah jadi baik, apa kau akan jatuh cinta padaku?" Tanya Gusion. Lesley tampak berpikir.

"Tidak yakin." Ucap Lesley. Gusion tersenyum. Ia paham perasaan Lesley. Gadis cerdas sepertinya pasti berpikir dua kali untuk jatuh cinta pada playboy seperti dirinya.

°°°
"Aku pulang." Ucap Gusion seraya menutup pintu rumah.

"Ah, Kak Gusion sudah pulang? Kenapa jam segini baru sampai?" Tanya Nana, adik Gusion.

"Tadi aku mengantar teman dulu. Bibi mana?" Tanya Gusion seraya melonggarkan dasi sekolahnya yang mulai terasa mencekik.

"Di belakang. Sepertinya sedang memasak banyak. Dari tadi tidak kelihatan batang hidungnya." Ujar Nana.

"Masak banyak? Memangnya ada tamu yang akan datang?" Tanya Gusion.

"Kak Gusion lupa? Hari ini ibu dan ayah akan datang. Jangan bilang Kak Gusion belum menyiapkan tumpukan rapor mu yang rata-rata sembilan itu?" Tebak Nana.

Gusion terdiam. Ia lantas bergegas pergi ke kamarnya dan membersihkan diri.

"Sial! Aku tadi mengabaikan telpon ibu. Pasti nanti aku akan diceramahi panjang lebar. Dan lagi, raporku kemarin ada angka 89 satu. Tamatlah sudah." Pikir Gusion.

Setelah mandi, ia merapikan file rapornya yang akan ia tunjukkan pada kedua orang tua Gusion.

Orang tua Gusion, Valir dan Aurora, memang bekerja di luar negeri. Mereka akan pulang dan menginap beberapa hari. Tujuan utama mereka sebenarnya adalah untuk memantau prestasi kedua anaknya, terutama Gusion. Setiap kepulangan mereka, Gusion dan Nana diharuskan memperlihatkan hasil belajar mereka selama satu semester.

Setelah beres, Gusion ke luar dari kamarnya menuju ruang makan. Di sana, ternyata sudah ada Valir dan Aurora yang tengah duduk manis di meja makan.

"Halo, Gusion. Bagaimana kabarmu? Apa kau sesibuk itu sampai mengabaikan telpon ibu?" Tanya Aurora. Gusion meringis.

"Maaf, bu. Tadi aku sedang ke toilet. Kemarinnya aku sedang tidur." Ucap Gusion.

"Lalu, kemarinnya lagi?" Tanya Aurora. Valir memegang pundak Aurora.

"Sudah, biarkan dia duduk dulu. Jangan terus-terusan memojokkannya." Ucap Valir seraya tertawa kecil. Gusion tersenyum tipis dan ikut duduk di samping Nana.

"Bagaimana kabar kalian?" Tanya Valir.

"Baik-baik saja." Ujar Gusion mewakilkan.

"Jangan lupa, setelah makan kita lihat evaluasi belajar kalian semester lalu." Tegas Aurora.

"Aku tidak pernah lupa." Ucap Gusion dingin. Moodnya sedang tidak bagus. Entahlah, ia merasa sedikit pusing. Mungkin karena tadi hujan-hujanan.

Setelah menikmati makan malam, mereka semua berkumpul di meja. Nana menyerahkan rapornya lebih dulu.

"Bagus sekali. Nilaimu di atas 95 semua ya." Ujar Aurora. Nana tersenyum bangga.

"Iya. Bolehkah aku meminta sesuatu?" Tanya Nana semangat.

"Untuk anak pintar sepertimu, tentu saja." Ujar Valir.

"Bolehkah aku ikut berlibur bersama teman-temanku?" Tanya Nana.

"Berapa lama?" Tanya Aurora.

"Seminggu. Di luar kota." Ujar Nana.

"Apa tidak terlalu lama? Kau kan harus tetap belajar." Ucap Aurora.

"Dia sudah berusaha keras, Aurora. Jangan terlalu menekannya. Bolehkan saja." Ujar Valir. Aurora menghela napas kemudian mengangguk. Nana tersenyum cerah dan bersorak kecil.

Selanjutnya, Gusion menyerahkan rapor miliknya.

"Ini kenapa--"

"Sst. Biar aku yang bicara." Ucap Valir menenagkan Aurora yang hendak marah.

"Nak, kamu sedang ada masalah?" Tanya Valir. Gusion hanya menggeleng seraya menunduk.

"Lalu, kenapa nilaimu bisa menurun?" Tanya Valir.

"Menurun lima angka itu bukan main-main, Gusion. Kau pasti lagi-lagi bermain bersama perempuan. Iya kan? Itu yang membuat kau tidak konsentrasi!" Timpal Aurora.

"Memangnya kalian peduli?" Ucap Gusion hampir berbisik.

"Apa?" Tanya Valir. Ia sedikit tidak yakin Gusion berkata begitu.

"Aku bilang, memangnya kalian peduli? Mau aku bilang aku punya seribu masalah pun memangnya peduli? Kalian hanya akan memarahiku dan memaksaku untuk terus belajar. Aku lelah, bu, yah. Aku ingin hidup seperti remaja lainnya. Mungkin kalau aku gila sekalipun, kalian tetap akan menyuruhku belajar setiap saat. Aku pamit dulu." Ujar Gusion.

Ia bergegas keluar dari rumahnya dengan kunci mobil dan hp di kantung celananya. Tanpa peduli teriakan Aurora, ia bergegas mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi di tengah hujan. Ia bahkan tak tahu kemana ia harus pergi.

I Got YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang