2. JEJAK DIGITAL YANG HILANG

5.1K 103 0
                                    

#cermin
Jumlah kata: 435

"Pram, hati-hati," kata Irfan, sahabatku, ketika kami ngopi, "sepertinya istrimu tahu cara mengkloning Whatsapp."
"Ah, Desi bukan perempuan seperti itu, ia percaya penuh padaku."
"Kamu nggak tahu sih," imbuhnya sambil menggigit pisang goreng, "ada emak-emak iseng menggodaku, mengatakan baru dilabrak istriku. Nah, istri dari Hongkong? Pacaran aja aku seperti sinyal handphone di pedalaman, sering putus-nyambung."
"Hmmm ...." Bukan tipe istriku, tapi tak ada salahnya waspada. "Kamu dikasih nomor telpon perempuan yang melabraknya?"
Memang nomor Desi.
*

[Harus jam kerja, Jun, aku mau ada di rumah saat suamiku pulang.]
[Nggak bisa ketemu, dong? Jam kerja kan aku juga kerja.]
[Makan siang? Aku bawakan masakan kesukaanmu dulu, kita bertemu di taman pemisah gedung kantormu dengan mall. Bagaimana?]
Kubaca chat Desi dengan Jun, hatiku panas, bekas pacarnya ada yang bernama Arjuna. Mereka putus karena tak sanggup menjalani LDR, bukan karena tak lagi cinta.

"Mas Pram, tumben pulang makan siang?" Desi terkejut melihatku datang.
"Lagi kangen," kucium pipinya, wangi, tapi ia memakai pakaian rumah.
"Sebentar ya Mas, aku siapkan dulu pesanan teman, minta dibuatkan masakan yang dulu sering kumasakin untuknya."
Kulihat ia mengetik sesuatu di gawainya, tak lama keluar rumah. Seseorang berjaket hijau menunggu di pagar.
Aku menelpon Irfan, "Fan, tuh ojolnya di depan rumahku, ikuti ya!"
"Loh, Mas Pram bawa mobil?" tanyanya waktu masuk rumah.
"Ya, mulai hari ini mobil kantor boleh dibawa pulang."
"Motornya bagaimana?"
"Kusewakan ke Irfan untuk narik ojol, motornya dijual untuk biaya ibunya berobat."

Setelah makan siang, aku kembali ke kantor.
[Enak, Des, masih sama seperti dulu.]
[Sayangnya yang kirim driver ojol, bukan dirimu. Kapan ya kita bertemu, aku sudah rindu.]
Darahku yang mendidih bisa ditenangkan dengan pesan dari Irfan yang menyebutkan tujuan ojol tadi, perkantoran Amoralsye.
*

Seminggu kemudian aku pamit lembur, dan seperti yang kuduga, Desi bikin janji bertemu Jun.
Dari jauh kulihat istriku duduk sendirian di cafe, sebentar-sebentar ia melihat gawainya. Sudah lewat tiga puluh menit, tapi Jun belum muncul. Aku mulai resah, tak sabar menunggu, Desipun gelisah. Kuhabiskan minumanku di cafe sebelah, dan mendekati istriku.
"Mas Pram!" Kentara sekali kagetnya, "kok di sini, katanya lembur."
"Lah kamu juga, ngapain di sini? Janjian ama seseorang ya?"
"Nggak," elaknya, "lagi suntuk di rumah."
"Mas Pram, ngapain di sini? Katanya lembur!" ulangnya.
Awas kau! Nanti kita berantem di rumah.
"Nggak jadi lembur, lalu kupikir beli donat kesukaanmu."
"Barusan aku sudah makan donat, beli buat Mas aja ya, aku nggak usah."

Sepanjang perjalanan pulang aku membisu, Desi juga sibuk dengan gawainya. Pasti ia sedang membatalkan kencannya dengan Jun.
Sampai di rumah, aku bersiap perang, kuperiksa kelengkapan amunisi, buka akun kloningan. Anjiiir! Desi menghapus semua chat.
Aku merasa kalah, harusnya langsung skrinsyut semua chat.

Surabaya, 27 Desember 2019
- fiksi -
#NWR

CURIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang