Saat di sekolah, aku baru tahu bahwa manusia gemar mengklasifikasikan sesuatu.Dan aku tahu yang kau pikirkan—ya, kami memiliki sekolah dan lain-lain. Sudah kubilang padamu, kehidupan kami cukup mirip dengan manusia.
Aku ingin menekankan sekali lagi bahwa kata kunci di sini adalah mirip.
Aku baru tahu bahwa manusia suka mengklasifikasikan hal-hal: hewan, tumbuhan, ciri fisik mereka (ras), bahkan perubahan tengkorak mereka sendiri dari masa ke masa. Pada hewan dan tumbuhan misalnya, mereka menggunakan sistem yang bernama taksonomi untuk mengelompokkan sesuatu berdasarkan karakteristik yang ada.
Dan dengan segala kemajuan pikiran mereka terhadap sains, manusia, anehnya, tidak menggunakan metode yang sama pada kami, orang-orang Yang Lain. Malah, mereka begitu saja membuang segala hal yang berhubungan dengan kami pada area abu-abu yang mengusik pengertian mereka atas kenyataan: Mitos. Namun aku cukup mengerti. Selain keterbatasan ilmu, faktor kepercayaan dan religius berperan besar di sini.
Meski begitu, manusia tidak tahu bahwa sebenarnya klasifikasi seperti itu mungkin juga bisa mereka terapkan terhadap kami, jikalau mereka dapat meneliti sedikit lebih jauh dan mau mengubah definisi mereka atas apa yang bisa dikatakan sebagai nyata dan tidak. Dan sebagai makhluk yang dikaruniai kompleksitas emosi yang jauh lebih sempurna ketimbang kami, manusia harusnya tahu, lebih daripada makhluk yang lain, bahwa kenyataan tidak selalu berhubungan dengan fisik.
Mereka sendiri yang tanpa sadar membuat batasan antara mana yang merupakan fantasi dan mana yang merupakan sains.
Lalu, dengan ketidakpeduliannya, manusia mengambil begitu saja secara mentah-mentah apa yang ditulis atau disebutkan oleh orang-orang sebelum mereka dan enggan mempelajari sendiri lebih jauh dikarenakan macam-macam label yang terlanjur melekat erat pada apapun yang berhubungan dengan kami.
Dari sini aku berpikir, bahwa tidak ada yang salah sama sekali dengan penciptaan atau konstruksi akal manusia. Adalah kebiasaan buruk mereka sendiri jika apa yang tidak bisa mereka terima dengan akal sehat—sesuatu yang tak dapat mereka jelaskan dan jauh berada di luar jangkauan nalar mereka-mereka buang dalam kotak yang berlabel: Mistis, magis, klenik. Titik. Dalam hal ini mereka membatasi diri sendiri dengan konsep yang mereka ciptakan, yaitu sains itu sendiri. Dan sains hanya mampu mencakup sesuatu yang dapat mereka nalar. Padahal banyak, banyak sekali, hal-hal pada semesta yang berada di luar lingkaran kecil itu.
Manusia bahkan bisa melihat kami—mungkin tidak semua orang-orang Yang Lain dapat mereka lihat, tetapi itu bisa dilakukan. Mereka hanya tidak tahu bagaimana. Jadi dari sini aku menarik kesimpulan: Apa yang membuat manusia terbatas dan seringkali bertindak bodoh bukanlah kurangnya intelegensi mereka, tetapi pola pikir mereka sendiri.
Karena segala keterbatasan pengetahuan tersebut, manusia tidak tahu bahwa apa yang mereka gunakan untuk memanggil atau menyebut kaum kami adalah sesuatu yang kira-kira hampir sama dengan familia, ordo, atau bahkan kelas dalam tingkatan ilmu taksonomi. Pengetahuan setingkat species pada kami berada di luar jangkauan mereka.
Misalnya Makhluk Halus.
Begitulah manusia biasa menyebut kaum kami pada umumnya. Mereka mempunyai banyak sebutan untuk itu: Elf, Aos Sí, Djinn, Aziza, Tien, Mogwai, Yaksha, Peri, dan sebagainya—tergantung pada bagian bumi mana mereka tinggal. Tetapi apa yang manusia sebut itu—Elf misalnya, hal itu seumpama menyebut Feliformia daripada Kucing pada seekor kucing kampung biasa. Gambaran lainnya seperti ini: Manusia hanya tahu Buah-buahan, tetapi tidak mengerti detail jenis buahnya apa saja. Ada berapa macam buah-buahan itu, bagaimana bentuknya, namanya, karakteristiknya, tumbuh di mana buah itu. Jadi daripada menyebut "Apel", manusia hanya menyebut "Buah" saja. Padahal buah-buahan ada banyak sekali, mulai dari yang besar dan yang kecil, yang bisa dimakan dan yang beracun. Mereka tidak sepenuhnya mengerti mengenai perbedaan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SPECTRAL
FantasyKami terlihat persis seperti manusia. Kami hidup dekat dengan manusia, berlaku seperti manusia. Tapi kami bukan. Kami adalah apa yang sering kau anggap tiada. Eksistensi kami adalah misteri, fantasi, dan ilusi. Namun kami bukan fiksi. Kami, adalah k...