satu | diam-diam

28 3 0
                                    

Cara mencintai paling aman adalah dilakukan secara diam-diam

Nadine Aksa Aliya

Aku menarik selimutku kembali hingga seluruh tubuhku tenggelam didalamnya. Alarm ku berbunyi untuk kesekian kalinya. Kumatikan alarm itu, lalu duduk sebentar untuk mengumpulkan nyawa. Dinginnya lantai cukup terasa ketika kakiku menapak diatasnya.

Aku berdiri dibawah shower, dihujani derasnya air hangat. Kupejamkan mataku, lalu fikiranku mulai berkelana. Sisa sakit hati kemarin masih belum sembuh. Perihnya masih terasa sampai sekarang.

"Yang sempurna, memang gak layak dimiliki" ucap Alan kemarin siang saat kami berjalan menuju parkiran. Aku tahu arah pembicaraan yang ia tuju. Kara

Kara si gadis sempurna, setiap kali melihat cewek itu, aku ingin menutup mata, mengelak kehadirannya. Kurasa— tubuh ideal, wajah cantik dan kulit putih adalah impian semua wanita. Dan itu semua dimiliki oleh Kara. Belum lagi barang-barang mewah yang terpasang di sekujur tubuhnya.

Aku takut Alan terlalu jauh mencintai Kara. Gadis itu tidak sebaik apa yang orang lain kira. Dan sialnya, hanya aku yang menjadi saksi kebusukannya. Hanya aku, siswi biasa yang bila berkata tidak akan dipercaya.

Satu tanganku terulur mematikan shower, berjalan lunglai keluar kamar mandi dengan mengenakan .......Kupakai satu per satu pakaian yang telah disiapkan oleh Bi Ratna. Sekali lagi, aku menghela nafas. Aku tidak siap untuk patah hati—lagi.

Aku melirik ke arah meja makan. Ibu tengah duduk disana sambil membaca majalah.

"Bu, anterin" pintaku pada Ibu.

"Biasanya kan sama supir" ucap Ibu tak acuh. Fokusnya masih mengarah pada majalah ditangannya. Seolah aku ini tidak lebih menarik dari majalah itu. Pantas saja Alan tak melirikku sama sekali.

"Pak Ganang kan lagi cuti, istrinya melahirkan"

"Kalo gitu sama Ayah atau Fahri" Ibu beralih menatapku sebentar. Benar kata Bang Fahri kemarin; tanpa Bi Ratna dan Pak Ganang kita gak akan tumbuh. Bang Fahri ataupun Ayah tidak akan mau membuang waktunya hanya untuk mengantarku sekolah, mereka bertiga sama saja. Aku tersenyum getir, berjalan menuju ruang tamu, lalu duduk disana.

Aku berfikir sebentar, lalu aku teringat dengan Laras. Aku menelfonnya, nada tunggu terdengar lumayan lama sebelum akhirnya berganti dengan suara Laras.

"Apa, Din?" Tanyanya.

"Lo udah disekolah? Kalo belum gue nebeng dong" pintaku setengah memaksa.

"Makannya belajar naik motor sendiri, BELAJAR!" ucapnya penuh penekanan.

"Intinya lo udah disekolah belum?!"

"Belom, masih di rumah" ucap Laras santai.

"Yaudah, jemput ya... Nanti pulangnya gue traktir batagor deh, janji"

"Bener ya? Yaudah gue OTW" suaranya terlihat bersemangat. Itulah Laras, penyuka segala hal yang gratis.

"Oke, gue tunggu"

Panggilan selesai, aku pamit pada Ibu dan Bi Ratna lalu menunggu Laras diluar rumah. Tidak lama, laras datang dan kami pun meluncur menuju sekolah.

Cerita Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang