dua | menjauh

16 3 0
                                    

Apakah harapku sudah harus terlelap?

Nadine Axallia


Yogyakarta, 2019

Kubuka tirai yang menghalangi masuknya cahaya kedalam kamarku. Hembusan angin mengelus kulitku dengan lembut. Menyibakkan rambutku yang tidak terikat.

Kulihat beberapa orang yang berlalu lalang, memberi kehidupan di jalan yang sedikit lenggang.

Setiap pagi adalah awal, dan setiap malam adalah akhir. Tapi sepertinya itu tidak lagi berlaku ketika aku jatuh cinta padamu. Ketika pagi datang, berarti aku akan melanjutkan kisah kita yang sempat terjeda oleh panjangnya malam. Begitupun ketika kita berpisah Al, aku tetap menganggap perpisahan ini adalah jeda. Dan selalu ada harapan suatu saat kisah ini akan kembali berirama. Boleh kau bilang aku gila, tapi itulah yang kurasa Al.

Aku berjalan menuju meja rias, kutatap pantulan wajahku di cermin. Mata sembabku masih nampak jelas, tak berbinar sama sekali. Sudah lama sekali aku terpuruk, tertidur dengan air mata dan terbangun dengan sisanya.

Satu tanganku terulur membuka laci. Tepat ketika laci itu terbuka, air mataku jatuh dramatis. Kuambil sepotong kertas yang terdapat gambar kita berdua di permukaannya. Kau tampak tersenyum lebar sambil merangkulku. Saat itu kita benar-benar manis, terlalu manis. Sampai aku kewalahan menyingkirkanmu yang hidup dimasa lalu.

***

Jakarta, empat tahun lalu

Akhir pekan diisi dengan hujan deras. Hal ini mengurungku seharian di rumah. Rencana hunting bersama Laras dan Nayla juga terpaksa dibatalkan.

Yang kulakukan sekarang adalah duduk di ruang TV sendiri. Berjam-jam sudah aku bertatapan dengan layar televisi. Mataku mulai lelah, tapi tak ada kegiatan lain yang bisa kulakukan. Ibu sedang tidur siang, sementara Ayah ada urusan bisnis di luar kota.

Bang Fahri datang dengan rambut dan pakaian setengah basah. Wajahnya tampak lesu, matanya kehilangan binarnya.

"Darimana Bang?" Tanyaku sambil memasukkan keripik kedalam mulut, mengunyahnya pelan.

"Dari rumah Revi" Bang Fahri tampak melepas jaketnya sambil berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai bawah.

"Pacaran sampe kehujanan gitu, sakit baru tau rasa" sewotku padanya. Dia hanya menaikan bahu tanda tidak peduli.

"Sirik aja lo, dek" ucap Bang Fahri sebelum tubuhnya menghilang tertelan pintu kamar.

Nafasku tertahan, bahkan di rumahku sendiri aku merasa asing. Lalu apa arti kata rumah yang sebenarnya? Hanya tempat rehat ketika raga benar-benar penat. Tidak ada hangatnya sebuah keluarga yang terasa begitu nikmat.

Semua orang di rumah punya urusan masing-masing. Ibu dengan segala rutinitas di luar rumah yang terkesan tidak begitu penting. Ayah dengan bisnisnya, dan Bang Fahri dengan kuliah dan pacar nya. Aku seringkali kesepian ketika berada dirumah. Maka jangan salahkan aku ketika aku tidak betah di rumah. Aku selalu mencari kesibukan diluar rumah. Mulai mengikuti ekstrakulikuler yang jumlahnya tak sedikit, sampai les musik yang kini menjadi kegiatan favorit.

Aku kembali memainkan ponsel untuk mengurangi rasa jenuh. Menyibukkan diri dengan beberapa notifikasi yang masuk. Nayla mengirim pesan yang berhasil menarik perhatianku.

Nayla
Kenapa ya? Alfi gak peka peka

Aku menahan senyum, Alfi tiba-tiba masuk dalam imajinasiku. Membayangkan kelakuan Alfi yang super absurd, rasanya mustahil baginya untuk masuk kedalam lingkaran cinta yang rumit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerita Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang