***Harusnya malam ini kita tidak makan dengan tempe lagi. Tapi kemarin pemilik kontrakan menagih uang kontrakan yang sudah nunggak, selain itu Ibu harus membayar Pak Ton yang sudah memperbaiki sepatu Noni yang menganga.
"Nar, makan dulu!" Ibu setengah berteriak sambil terus berkutat dengan jahitannya.
"Iya, Bu. Emang Ibu sudah makan?" tanyaku menghampiri Ibu.
"Sudah, tadi sambil masak."
Iyakah? Aku tak yakin. Pernah Ibu bilang sudah makan, tapi tak ada yang melihat, pun tak ada piring kotor bekas Ibu makan. Ah sudahlah, mungkin langsung dicuci.
Wulan, Noni, dan Aris makan dengan lahap meski dengan tempe goreng. Aku pun ikut bergabung. Entah sejak kapan tempe goreng menjadi menu kesukaan di sini.
Mungkin sejak Ayah tidak mengirimkan uangnya lagi. Dan sejak itu Ibu terus bekerja tanpa henti. Ya, itu sudah lama. Sejak itu aku berhenti sekolah dan ikut bekerja menjadi pedagang asongan di jalan.
Padahal Ayah berjanji akan rutin mengirimkan uang jika bekerja di kota. Awalnya saja ia menepatinya, tapi bulan-bulan berikutnya Ayah berbohong. Bahkan Ayah tidak memberi kabar sekalipun sampai sekarang.
"Ibuuu!"
Terdengar suara Noni berteriak membuyarkan lamunan. Bergegas aku menghampiri, terlihat Ibu tergeletak lemah. Pingsan.
Segera kubopong Ibu dan membawanya ke kasur.
"Ibu kenapa, Kak Dinar?" Aris menangis.
"Ibu pingsan, Dek! Do'ain Ibu gak apa-apa ya," jawabku, meski aku pun panik.
"Tolong ambilkan minyak kayu putih, Lan," ujarku pada Wulan.
Tak lama, Ibu pun sadar. Tapi badannya menggigil, berapa detik kemudian tak sadar lagi. Aku semakin panik.
***
"Bagaimana kondisi Ibu, Dok?" tanyaku bergegas saat melihat Dokter yang menangani Ibu keluar dari UGD.
"Apa Ibu sering telat makan?" Dokter yang bernama Doni itu malah bertanya.
"Mmm, setahu saya tidak, Dok," jawabku ragu.
Apa dugaanku benar, bahwa selama ini Ibu berbohong kalau dia sudah makan? Ahhh, aku meremas rambut.
Dokter menjelaskan bahwa ibu perlu dirawat untuk sementara waktu untuk memastikan penyakitnya. Mungkin besok akan dicek semuanya. Kini giliran senyumku yang mengembang. Ya, mungkin ini jalannya.
Ibu belum sadarkan diri, wajah cantiknya nampak pucat. Tapi biarlah, ini lebih baik buat ibu. Biarlah ibu beristirahat dulu seperti ini. Daripada ibu harus terus menyiksa dirinya demi membahagiakan kami. Anak-anaknya.
Sudah seringkali aku bilang, sudah cukup aku dan Ayah saja yang bekerja. Meski entah kapan, mungkin suatu hari Ayah kembali menepati janjinya. Tapi ibu terus saja memaksa. Ibu selalu merasa dia mampu. Ibu selalu saja merasa bahwa dia sanggup. Padahal ... padahal ....
Akhirnya pipiku basah. Semuanya tumpah sekarang. Semua yang terasa sesak di sini. Di dada ini.
Terbayang saat tengah malam Ibu terlelap di mesin jahitnya. Atau saat tangan ibu berkali-kali tertusuk jarum karena penerangan yang seadanya. Ahh, aku bisa apa saat itu? Walaupun aku mendekatinya, Ibu pasti marah dan menyuruhku tidur. Dia pasti akan berkata bahwa dia baik-baik saja. Aku tahu, dia berbohong.
Menjelang subuh, Ibu mulai mencuci baju kami semua. Padahal sudah kubilang bahwa kami sudah bisa mencuci baju kami sendiri. Bahkan si kecil, Aris yang duduk di kelas dua Sekolah Dasar pun sudah bisa melakukannya sendiri. Tapi ibu selalu mengerjakan semuanya tanpa sepengetahuan. Padahal sesudahnya ibu harus segera mencuci dan menyetrika baju-baju tetangga sampai sore.
Kapan dia terlelap dengan nyaman?
Kapan dia mau beristirahat kalau bukan sekarang?
Ah, Ibu memang keras kepala!
Air mataku terus saja menetes, meski sudah berapa kali diusap. Malu? Pastilah. Aku lelaki, masa' menangis?
"Nar? Kamu menangis?"
Deg! Suara ibu mengejutkanku. Segera kuhapus sisa air yang menggenang.
"T-tidak, Bu? Ibu sudah sadar? Apa yang Ibu rasakan sekarang?" Aku gagap. Tapi tidak boleh terlihat lemah di depan Ibu.
"Ibu tidak apa-apa. Kamu kenapa menangis? Bajumu kenapa basah? Ini di mana?" Pertanyaan demi pertanyaan keluar dari bibir pucat Ibu.
Aku meraba baju. Ini basah keringat dan gerimis tadi. Karena tidak ada kendaraan, akhirnya aku beranikan diri untuk menggendong Ibu sampai Rumah sakit. Hingga di tengah jalan ada seorang bapak yang mau mengantar kami. Mana ingat untuk bawa baju ganti, sedang melihat Ibu dengan kondisi seperti itu saja aku panik.
"Alhamdulillah kalo Ibu gak apa-apa. Ini di Rumah Sakit, Bu. Tadi Ibu ...."
"Ya Allah, di rumah sakit, Nar? Ayo kita pulang. Kita tidak punya uang untuk bayar semua ini."
Ibu mulai bangkit dan hampir melepaskan selang di tangannya.
"Jangan, Bu. Tenang. Aku punya uang, Ibu tenang saja! Ibu harus istirahat, aku mohon sekali inii saja kabulkan permohonanku, Bu. Aku mohon..."
Ibu berhenti dan menatapku. Hening. Ah sial, pertahananku luruh kembali. Aku menangis; lagi. Ibu langsung mendekapku.
"Maafkan Ibu, Nar, banyak menyusahkanmu," bisik Ibu pelan. Dan aku tak bergeming, tak sanggup untuk mengatakan bahwa aku lebih merepotkan Ibu. Memeluk tubuh Ibu yang semakin kurus sudah cukup membuat air mata kian basah.
"Adik-adikmu mana?"
"Di rumah, Bu. Mereka tidak bisa ikut."
"Kita pulang saja, Nar. Ibu tidak apa-apa."
"Tidak, Bu. Ibu harus istirahat. Ibu harus sehat."
"Tapi..."
Aku tersenyum, "tidak apa-apa, Bu."
Maaf, Bu. Aku menirumu. Aku berbohong kalau punya uang. Tapi aku akan berusaha, Bu. Aku janji.
Dan juga sepertimu selalu bilang bahwa Ibu baik-baik saja. Inilah aku, yang juga akan baik-baik saja. Meski kekhawatiran terus membayangi.
Posong, 14112019
***
"Jika ada seseorang yang merelakan semua yang dia miliki, meski itu setetes air di kerongkongannya yang tengah kekeringan, maka itu adalah ibumu.
Jika ada yang lebih banyak berkata bohong demi berusaha membuatmu percaya bahwa dia baik-baik saja, maka itu adalah ibumu.
Dia yang sering berkata tidak lapar padahal perutnya keroncongan.
Dia yang sering berkata baik-baik saja padahal raganya sudah terlihat letih atau bahkan kurang sehat.
Maka itu adalah Ibumu.
Maa Syaa Allah, tabaarokalloh, semoga Allah senantiasa melindungi dan menyayangi setiap Ibu hebat di dunia ini."
#vha
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Buku Harian
Short StoryAda banyak kisah di sekitar kita yang tak terceritakan. (Bukan) Buku Harian -Kumpulan Cermin ( Cerita Mini)-