(Bukan) Milikku

6 1 0
                                    

***
Pagi masih malu untuk menyapa saat kulihat karung milikku yang telah penuh dengan barang yang bisa dijual. Senyumku mengembang. In Syaa Allah ini sudah cukup. Aku bisa cepat pulang dan menyiapkan makan siang untuk Mas Evan.

Namun, samar kudengar lengkingan mirip tangisan bayi. Ah, mana mungkin di sini ada bayi? Sepertinya pikiranku benar-benar dihantui oleh perkataan Mas Evan shubuh tadi. Terlihat begitu bahagianya saat dia menceritakan bagaimana di mimpinya dia tengah menggendong bayi kecil yang mirip dengannya. Andai mimpi itu benar, aku juga pasti akan ikut bahagia. Bagaimana tidak, setelah lima tahun menikah, kami belum juga diamanahi seorang anak. Namun nyatanya, mimpi itu malah membuatku sedikit terluka.

"Oooeeek, ooeeek!"

Terdengar lengkingannya semakin keras. Aku menghentikan langkah lalu menajamkan pendengaran. Benarkah suara itu? Akupun bergegas mencari sumber suara.

"Ooeekkk, ooeeeek!"

Perlahan tapi pasti, kudekati sebuah kardus yang nampak bergerak. Akupun terperangah, ternyata benar di dalamnya bayi mungil berjenis kelamin lelaki. Wajahnya masih merah, namun sudah terbungkus kain bedong.

Aku mengambil bayi itu dan mendekapnya, sembari melihat sekeliling mencari siapa yang tega membuang bayi tampan ini di kubangan sampah.

Terlihat seorang wanita tengah bergegas menjauh. Diakah pemilik bayi ini?

"Heii, jangan pergiii!"

Aku mengejarnya sambil mendekap erat bayi tadi. Berharap masih bisa terkejar.

"Mbak, maaf..."

Aku berhasil menggapai pundaknya. Diapun menoleh,

"Erna?"

"Ada apa, Mbak?" Wajahnya sembab, tapi dia berusaha bersikap santai.

"Ini bayimu?"

Erna menunduk. Lalu dengan ragu menjawab,

"Bukan. Maaf, Mbak saya buru-buru."

"Tunggu, Erna! Aku tahu ini bayimu! Kenapa kamu tinggalkan dia di sini? Dia masih merah, dia butuh kamu."

"Dia bukan anakku, Mbaak. Dia bukan anakku!" Erna berkelit. Namun, semakin berkelit, semakin terlihat pula mendung di matanya.

"Sudah, Erna, aku tahu ini anakmu, bawa pulang kembali. Dia butuh kamu!"

"Oke, aku mengaku, dia anakku. Tapi dia telah menghancurkan hidupku. Dia membuat ibuku sakit karena malu. Dia yang membuat Reno pergi ninggalin aku! Puas, Mbak? Mbak puas dengan penderitaanku ini, hah?"

Aku menggeleng, "Cukup, Erna! Bukan, bukan dia yang membuatmu menderita, tapi kamu sendiri yang membuatmu jatuh kedalam lembah penderitaan! Lihat! Lihat bayi ini Erna! Dia tersenyum, dia bahagia telah dilahirkan, dia bahagia bertemu denganmu. Dia bersih, dia suci, dia gak salah apa-apa. Harusnya kamu sadar itu!"

"Bawa dia pulang, Erna. Sayangi dia, banyak orang yang menginginkannya tapi tak jarang harus mengeluarkan kesabaran ekstra untuk menantinya, contohnya aku. Syukuri itu..."

Suaraku semakin melunak. Serak. Hingga tak sadar ada air yang menggenang di pipi. Berharap wanita muda itu mau mengerti.

"Kalo Mbak mau bawa aja dia. Anggap dia anak Mbak."

Deg!

"Tapi ini anakmu, Erna. Dia butuh ibunya."

"Tapi aku nggak bisa, Mbak! Maaf, aku pergi."

"Tapi Erna..."

Erna sudah pergi menjauh dan seolah enggan untuk menoleh kembali. Mataku beralih pada pria kecil dalam dekapan. Bibirnya menyunggingkan senyum. Manis.

Ada haru yang menyeruak. Bulir bening ini seperti tak henti menetes. Entah aku harus bagaimana. Aku marah pada Erna, tapi aku bahagia memiliki bayi ini. Apa ini adalah jawaban dari do'a-do'aku? Apa ini adalah jawaban dari mimpi Mas Evan? Ya, dia. Bayi yang telah lama aku rindukan, meski bukan terlahir dari rahimku.

"Sayangku, percayalah aku akan menyayangimu. Namun, maukah kau panggil aku Ibu?"

YDS, 141019

***

"Setiap makhluk memiliki takdirnya masing-masing.

Namun, tak semua takdir memiliki fase hingga akhir yang sama.

Nikmati saja alurnya! Percayalah, entah itu dalam fase atau justru akhir dari cerita yang kelak akan menemukan takdir terbaiknya."

#vha

(Bukan) Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang