Komitmen

12 1 0
                                    

===

"Neng mau kerja, A," ucap Linda mantap.

Mata Galih membulat. Entah sudah berapa kali obrolan ini menjadi sering diangkat akhir-akhir ini. Disimpannya sendok yang tadi tengah ia pegang. Selera makan hilang seketika. Galih pun beranjak.

Linda tahu, suaminya tidak akan memberinya izin untuk bekerja, meskipun hanya buruh cuci yang tidak menyita banyak waktu. Linda juga tahu bahwa suaminya hanya tidak ingin waktu dengan anak-anaknya terbengkalai sehingga menyebabkan anak-anak tidak terurus. Intinya, suaminya hanya ingin Linda fokus untuk dirinya dan anak-anak mereka.

Linda mengembuskan napasnya lemah. Ia tak tahu apa lagi yang harus dilakukan sekarang. Tabungannya sudah menipis, sedang suaminya belum juga mendapat pekerjaan setelah di-PHK beberapa minggu lalu.

Tadinya, Galih bekerja di sebuah pabrik tekstil. Berangkat pagi pulang petang itu kebiasaannya dulu. Gajinya meski tidak banyak, namun lumayan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hingga akhirnya pabrik itu gulung tikar dengan tiba-tiba. Hampir ratusan karyawan di-PHK tanpa persiapan pekerjaan setelahnya. Termasuk Galih.

Di kamarnya, Galih menerawang. Hatinya resah tidak karuan. Dia sudah mencoba melamar pekerjaan kembali ke beberapa pabrik hingga perusahaan kecil. Namun sampai sekarang, tidak ada satu pun panggilan yang datang.

Galih tidak ingin membawa Linda ke dalam tanggung jawabnya mencari nafkah. Ia sudah berkomitmen sejak sebelum menikah, bahwa urusan nafkah adalah urusan dan tanggung jawab suami. Ia hanya tidak ingin membebani Linda.

Meski nyatanya, sekarang Galih benar-benar membebani isterinya.

===

"Maafin neng, A. Neng gak bermaksud untuk menyakiti ataupun mendahului dengan menentang komitmen yang Aa pegang. Neng hanya ingin mencoba membantu. Itu saja."

Galih bergeming.

Mata Linda mulai mengkristal, "ngomong atuh, A, Neng harus gimana? Neng juga bingung, tapi tabungan kita sudah menipis sedangkan pengeluaran terus saja membengkak."

Galih mulai luluh. Dipegangnya tangan isterinya. Merekapun saling menggenggam erat, seolah saling mentransfer kekuatan.

"Sisa uang tabungan ada berapa?"

"Sekitar duaratus ribuan, A."

"Dulu Aa pernah buat cilok sama teman-teman. Masih ingat sepertinya sedikit-sedikit. Gimana kalo uang itu Aa alokasikan untuk buat dagang cilok separuh? Aa mau coba pinjam gerobak Wak Raka yang lagi nganggur, mudah-mudahan bisa disewakan. Gimana menurutmu, Neng?"

Mata Linda kini berbinar. Perkataan suaminya sungguh ibarat batu loncatan yang akan menjadi awal perbaikan hidupnya. Linda pun mengangguk setuju.

"Nah, tugas Neng sekarang tinggal doain Aa, ya? Buat Aa itu sudah cukup. Doain biar rencana kita dimudahkan dan rezeki kita dilancarkan. Karena yang Aa tahu, rezeki suami itu salah satunya ada pada doa isteri. Bagaimana?"

"Iya, A. Neng selalu doain Aa. Yang terbaik pokoknya." Mata Linda menghangat, namun kali ini karena terharu.

"Oke, kalo gitu sekarang Aa mau ke Wak Raka dulu, nanyain gerobak. Neng doain ya, supaya gerobaknya rezeki kita. Terus setelah itu Aa mau ke pasar beli bahan-bahannya, tolong kamu siapkan uangnya ya."

"Iya, A."

"In Syaa Allah keadaan kita akan membaik, Sayang. Maafin Aa ya."

Galih menarik Linda ke pelukannya. "Aamiiinnn ...," bisik mereka berdua penuh harap.

Simpur, 02012020

===

"Komitmen dalam bahtera pernikahan tidak cukup jika hanya digenggam oleh satu orang. Seperti halnya pernikahan itu sendiri, yang tidak akan sah jika hanya ada satu mempelai.

Saling terbuka, itu kunci awalnya. Maka seterusnya adalah musyawarah tentang komitmen itu sendiri."

#vha

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

(Bukan) Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang