Sebut saja namanya Mira. Seorang perempuan berambut lurus sebahu, berkulit putih, dan berkacamata tebal. Bentuk wajahnya agak bulat dengan mata yang agak sipit. Dia berasal dari keluarga Batak. Dia tinggal di kota seberang, untuk berkuliah dia perlu menaiki kapal kelotok. Namun, dia sudah memutuskan untuk ngekos di sini. Ya, dialah yang membuatku semakin yakin bahwa pertolongan sang Kuasa selalu datang tepat waktu.
Sejak dulu aku dikenal sebagai sosok yang pendiam, minderan dan tidak percaya diri. Sehingga aku selalu berusaha seminimal mungkin untuk terlibat dengan banyak orang. Jangankan meminta sesuatu pada orang lain, mengajaknya mengobrol duluan saja ragu-ragu.
Di awal semester, aku butuh waktu untuk beradaptasi mulai dari waktu, dosen, hingga teman. Mira, ia yang menyapaku lebih dulu kala itu. Kupikir, dia anak orang kaya yang sombong karena penampilannya seperti anak gaul kebanyakan. Ternyata dialah yang menawariku pertolongan pertama. Membuatku semenjak itu tak harus pulang dengan berjalan kaki. Walau sesekali aku juga tidak bisa bergantung dengannya. Namun, lama-kelamaan teman-teman tahu bagaimana kondisiku yang terbatas ini. Ada beberapa dari mereka yang baik hati mengantarku, bahkan terkadang sampai ke rumah.
***
"Kenapa kamu mau jadi guru?" salah seorang temanku, Desy, membuka pembicaraan kami saat jam kosong.
"Akusih pengen jadi guru."
"Kalau aku karena kemarin gak keterima di SNMPTN, jadi cari jurusan yang gak susah sih." jawab salah seorang yang lain.
"Kalau aku karena orang tuaku pengen aku jadi guru. Dulu, kakakku yang diminta jadi guru tapi mereka gak ada yang mau. Berhubung aku anak terakhir sudah, jadi aku deh yang disuruh kuliah di sini." papar Mira.
"Wah, keren." ujarku dalam hati.
"Kalau kamu?" tanya Mira padaku.
"Ee,eeh, aku? Aku... Aku... cuma pengen ngehindarin pelajaran Metik aja."
Mereka tertawa. Alasan yang tak masuk akal. Tapi itu memang jadi alasan kesekianku. Matematika terlalu menjemukan.***
Kegiatan perkuliahan tidak terasa sudah berlangsung dua bulan. Aku mulai dekat dengan beberapa teman. Tugas yang datang dan pergi membuatku agak kagok. Rasanya kami ditempa untuk lebih mandiri dengan format tugas-tugas yang berbeda seperti saat duduk di bangku sekolah. Makalah, presentasi, penelitian dan sebagainya.
Kami sedang menunggu giliran kelas. Kebetulan masuk pukul 11.00, kelas digunakan secara bergantian oleh kakak tingkat. Di tengah cuaca yang terik, beberapa dari kami sudah tiba sedari tadi hingga membuat mereka tidak sabaran. Aku, Mira, dan salah seorang temanku sedang bercerita mengalihkan peluh dan penat di kepala.
"Duh, neneknya teman aku meninggal." ucap Mira.
"Hah? Yang bener?" jawab salah seorang temanku.
"Iya, kayaknya besok aku izin kuliah lagi nih. Harus nyebrang balik."
"Yah, masa kamu izin lagi sih. Mana jauh lagi rumahmu." jawabku.
"Iya nih, mau gak mau, aku sudah ditelponin orang rumah."
Percakapan kami usai sampai di situ. Gerombolan kakak tingkat terburu-buru keluar kelas mengejar kelas berikutnya. Kami pun segera masuk untuk berebut kursi paling belakang.***
Senin datang lagi. Senin jadi hari yang paling dibenci dari hari yang lainnya. Entah apa salahnya. Kalau saja senin ditetapkan sebagai hari libur nasional, maka seninlah yang selalu ditunggu-tunggu datangnya. Hari itu, kebetulan kelasku kosong, dosen sedang ada kegiatan di luar. Sehingga kami diminta untuk presentasi mandiri dan kegiatan selesai sebelum waktunya. Namun, tiba-tiba saja terdengar kabar yang tak kuinginkan.
"Teman-teman, Mira kecelakaan!" teriak ketua tingkat.
"Hah?!" seluruhnya berseru kaget.
"Kenapa dia? Kenapa?"
"Kecelakaan di mana?"
"Gimana keadaannya?"
"Gak tau, sekarang di ada di rumah sakit Husada. Tadi katanya ditemukan sama Polisi yang lagi Patroli pas mau datang ke sini." papar ketua tingkat.
"Sudah dikabarinkah orang tuanya?"
"Kurang tau, aku juga gak ada nomor orang tuanya. Sebentar aku hubungi dosen."
Pantas saja. Mira tidak masuk pagi itu, kukira dia terlambat. Sebab ujarnya terakhir melalui pesan pribadi padaku, dia akan masuk hari ini. Dan aku tak bisa berkata apapun, wajahku pucat. Seisi kelas sibuk saling menghubungi. Begitu pula denganku. Kebetulan aku pernah dikenalkan dengan salah seorang temannya, temannya berada di kelas yang sama dengan teman di SMK-ku dulu. Aku buru-buru meminta nomornya dan menghubunginya. Dan benar saja, itu bukan berita bohong. Lantas aku memintanya untuk mengabari keadaan Mira saat ini.***
Para dosen panik. Dosen yang bertepatan dengan jam kami langsung mengajak kami untuk menengok keadaan Mira. Sesampainya di sana, hatiku berdebar. Keadaannya cukup mengenaskan. Dari wajahnya tergambar rasa sakit yang teramat sangat. Aku tak kuasa masuk ke ruangan itu. Dia memanggil-manggil nama salah seorang teman sekelasku. Dan kami tak diperkenankan untuk masuk seluruhnya, karena setelah itu dokter segera mengambil tindak lanjut. Kami menunggu sampai keluarga Mira tiba. Dan meninggalkannya dengan penuh rasa khawatir.
Di grup kelas ramai memantau keadaannya. Dia koma. Aku tak henti mendoakannya. Hingga saat kami libur, pagi hari di hari Minggu yang saat itu aku sedang berkegiatan di luar sehingga tidak terlalu fokus memegang HP. Sebuah pesan dari Lesti.
Kamu liat grup?
Mira udah gak ada.07.21
Hah bercanda?
07.02
Ngapain aku bercanda sih. Coba liat deh.
Pesan itu kuabaikan. Dan benarlah. Waktu telah habis untuknya. Sang Kuasa menjemputnya selang tiga hari sejak tragedi kecelakaan itu. Rupannya ia terpeleset saat melaju dalam kecepatan tinggi kemudian mengantam bibir trotoar. Kenyataan yang pahit. Salah seorang teman baikku. Dia yang bersemangat kuliah untuk menjadi seorang guru. Dia satu-satunya harapan orang tua untuk menjadi guru. Kini telah lebih dulu mengucap sampai jumpa.
Semoga kamu berada di tempat terbaik, Mira. Terima kasih, orang pertama yang menawariku tumpangan itu. Kebaikanmu takkan lekang di ingatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semasa Kuliah
Non-FictionAku bercerita pada sesiapa tak untuk dipahami. Sebab tulisan ini ada tak untuk ditemukan, tetapi di sini, segala kisah akan kutuangkan.