Tahun 2015, usiaku menginjak 18 tahun, masa-masa transisi yang kuhadapi dengan segenap pertanyaan "nanti kamu mau ke mana?", "mau jadi apa?", "mau lanjut ke mana?". Pertanyaan dengan jawaban yang entah. Kala itu, aku mengambil jurusan Akuntansi di Sekolah Menengah Kejuruan. Sama sekali bukan keahlianku, benarlah, di sekolah aku di hadapkan dengan rentetan data keuangan bayangan yang harus di-balancekan, sungguh merepotkan. Keterpaksaan itu kujalani karena inginnya orang tua kelak agar aku dapat menghasilkan uang dari belakang layar meja komputer mengenakan seragam rapih dan wangi dengan ruangan dingin dan makan siang di pantri seperti idaman banyak orang. Namun, harapan itu menguap. Hidup lebih nyata adanya. Aku harus bangun dari angan yang tak seiring berjalan dengan harapan, karena kurang lebih 6 bulan setelah kelulusan aku tak kunjung mendapat pekerjaan.
Kehidupan keluargaku masih terbilang cukup, sesekali lebih untuk membayar beberapa keinginan. Semisal memperbaiki bagian rumah yang retak dan belum berkeramik. Bapak mendapat tawaran sebagai sopir pengantar mobil ke kota seberang, mulai dari Muaratewe hingga Berau. Sekali pengantaran memerlukan waktu 3 hingga 5 hari untuk mendapatkan bayaran mulai dari 500 ribu hingga 1 juta rupiah. Dalam sebulan, bapak bisa 3 sampai 4 kali bolak-balik ke luar kota. Dari hasil itu, ibu menabung dengan telaten kemudian hasilnya digunakan untuk membiayai wisuda kakakku dan sisanya digunakan untuk memberi penawaran padaku "mau lanjut kuliah?". Pertanyaan yang sejenak menenangkanku juga seketika mengganggu benakku. Aku bisa dengan mudah memutuskan untuk berkuliah setelah lulus sekolah, nanti di masa depan aku akan lebih mudah mencapai posisi di kursi yang nyaman. Tetapi, kalau aku berkuliah, biaya untuk membayar perkuliahan selanjutnya dari mana? Sebab aku paham benar berada di bumi yang terus berputar. Hari ini mungkin kita bisa tertawa seolah seisi dunia milik kita, tetapi esok boleh jadi kita akan merasa semesta seperti mengusir kita. Atas pertanyaan itu, aku butuh waktu menjawabnya.
Tak ingin gegabah, aku mencari-cari alasan untuk memantapkan diri mengapa aku harus berkuliah? Lalu PR terbesarnya adalah kampus mana yang akan kupilih atau kampus mana yang mau menerimaku? Di kotaku, belum banyak keberadaan kampus, kebanyakan masih berstatus Sekolah Tinggi dan Politeknik. Hanya satu Universitas dan masih menyandang predikat swasta. Sebenarnya, di ibu kota ada kampus negeri besar yang memuat berbagai jurusan. Hanya perlu menempuh waktu kurang lebih 3 jam saja untuk ke sana. Tetapi, kedua orang tuaku tak izinkan dengan alasan sulit untuk mondar mandir dalam keadaan renta, pun belum biaya kos dan sebagainya. Lagi-lagi, dana adalah pertimbangan nomor satu. Usai memilah dan memilih, akhirnya aku menyetujui keputusan untuk berkuliah. Walaupun mulanya aku sempat berkeinginan untuk menunda setahun tetapi Ibu seperti tak ingin aku melewatkannya, "mumpung lagi ada, besok belum tentu". Ibu menyanggupi biaya gedung dan semester awal, sisanya aku bermodal niat dan tekad saja, bukankah Allah menyertai hamba yang kesulitan? Nanti aku minta saja pada-Nya. Itu urusan belakang. Yang penting adalah saat ini. Dan soal jurusan, aku memutuskan untuk mengambil Sastra Indonesia, kebetulan Universitas di kotaku itu yang satu-satunya menyediakan.
Ada sahabatku, sahabat sebangku masa sekolah, ia juga memutuskan untuk berkuliah di kampus yang sama denganku. Hanya saja, ia memilih jurusan Ekonomi Manajemen yang masih beraroma Akuntansi. Siang itu, kami menuju kampus sama-sama. Selama tinggal di kota ini, aku baru tahu ada kampus berwarna oranye berdiri di antara sebagian hutan dan sebagian perumahan, jaraknya agak jauh dari jalan raya. Orang bilang, tujuan dibangunnya pusat pendidikan yang agak jauh dari jalan raya agar aktivitas pembelajaran dapat berlangsung secara efektif dan tidak terganggu dengan riuhnya kendaraan. Entahlah, tapi masuk akal juga. Sayangnya, tidak masuk akal bagiku. Bagaimana caranya tiap hari aku harus datang ke kampus itu? Jauh dari akses angkutan umum. Baiklah, lagi-lagi itu urusan belakang. Tiba di depan loket informasi mahasiswa, aku dan temanku bertanya-tanya soal jurusan yang tersedia kemudian meminta brosur dan syarat yang harus kami penuhi.
"Jurusan Sastra Indonesia, mba?" Tanyaku.
"Sastra Indonesia gak ada, adanya Sastra Inggris." Jawab penjaga loker sekenanya.
"Tapi ini ada Sastra Indonesia?"
"Oh itu, iya FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia."
Lega aku mendengarnya, jurusan idamanku, Sastra Indonesia di depan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semasa Kuliah
No FicciónAku bercerita pada sesiapa tak untuk dipahami. Sebab tulisan ini ada tak untuk ditemukan, tetapi di sini, segala kisah akan kutuangkan.