Bunyi gemuruh bersahut-sahutan samar di balik tirai hujan yang sangat deras. Kilat menyambar beberapa kali, menyisakan terang sekilas, kemudian pekat yang absolut. Sesekali angin kencang bergulung-gulung membawa terbang dedaunan dan ranting pohon yang rapuh, bersatu dalam gempuran hujan yang sepertinya akan turun semalaman.
Dahayu menggigil dihantam hujan dan angin, matanya masih terpejam. Tubuhnya yang tertelungkup terkulai lemas di atas tanah berlumpur. Ia menggeliat pelan, berusaha menekuk tubuhnya untuk menghalau dingin barang sejenak. Namun, gadis itu tak berdaya, tubuhnya terasa kaku dan kebas.
Gadis itu membuka matanya susah payah. Gempuran hujan membuat kelopak matanya terasa berat. Gadis itu mengerjap ketika perih menghalau pandangannya.
Dahayu kembali menutup kelopak matanya, lalu membuka lagi, berkali-kali. Namun sia-sia, tidak ada visual yang dapat ditangkap dengan jelas oleh retinanya. Yang terlihat hanyalah gelap.
Saat kilat tiba-tiba menyambar salah satu sudut jurang, barulah Dahayu dapat melihat dalam temaram, siluet pepohonan besar, dedaunan basah, serta jalanan hutan yang sebagian besar terendam air. Ia mengerang tanpa suara begitu segenap kesadarannya terkumpul. Tubuhnya terasa remuk dan hancur. Rasa sakit dan nyeri di mana-mana seolah membelenggu pergerakannya.
Dahayu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Gadis itu mengumpulkan sisa tenaga dan semangat hidup yang ia punya, lalu menyeret tubuhnya susah payah dengan bertumpu pada kedua lengan yang ditekuk. Ia tidak tahu hendak ke mana, barangkali ada sedikit peruntungan untuk menemukan jalan keluar jika Dahayu terus bergerak.
Gadis itu mulai terisak saat jalan keluar yang diharapkan tak kunjung ia temui. Sementara rasa sakit dan dingin semakin kentara menggerogoti tubuhnya. Ia nyaris tak sanggup bergerak lagi. Kesadarannya hilang datang silih berganti. Bau anyir darah yang menusuk penciuman seolah mengukuhkan keadaannya yang sangat mengenaskan. Mual menyesak di tenggorokan. Perlahan tapi pasti, Dahayu mulai frustrasi.
Apa aku akan mati sebentar lagi? Sungguh aku tidak sanggup ....
Ingatan terakhir mulai berkelebat di kepala. Detik-detik sebelum kengerian ini menimpanya. Kapal penyeberangan yang membawa mereka menuju Bali, teman-teman sekelasnya yang tidak begitu peduli akan keberadaannya, lalu bus pariwisata yang tiba-tiba berhenti karena harus mengganti ban. Ia yang sedang termangu menatap jendela mendadak diseret paksa ke sebuah tempat sepi. Seringai terakhir Emily, Gladys dan Silviana yang selalu membuat hari-harinya di SMA bagaikan di neraka, akan selalu ia ingat sebelum tubuhnya melayang jatuh ke dalam kegelapan jurang.
Seketika hati Dahayu mendidih. Sesuatu di dalam kepalanya membara. Ia tak boleh kalah. Tidak sekarang. Ia harus membalas ketiga gadis biadab itu.
Kilat kembali menyambar. Sekali lagi, terang menghampiri jurang kelam itu. Memori buruk itu seketika terusir dari pikirannya. Iris mata Dahayu menangkap siluet buku tebal yang memancarkan cahaya ungu, tak jauh dari posisinya. Entah dari mana asal buku itu. Bahkan, saat kilat telah berlalu, cahaya ungu itu masih tertinggal, berpendar dalam gelap.
Apa itu?
Jujur ia takut. Namun, pendar cahaya itu adalah satu-satunya benda yang dapat dijadikan penerangan. Ia harus memilikinya, bagaimana pun caranya. Berbekal harapan yang lebih besar daripada rasa takut, Dahayu mengulurkan lengannya.
"Aaarrkkkkhhh!"
Sedikit lagi. Jari-jemarinya nyaris menyentuh benda itu. Dahayu memaksa lengannya mengulur lebih jauh saat nyeri menyerangnya. Gadis itu menjerit jeri, suaranya tertelan hujan yang menderu semakin lebat. Akhirnya buku tebal bercahaya itu berhasil ia raih.
Dahayu terpana sesaat. Jari-jemarinya yang penuh luka menyentuh cahaya keunguan pada sampul kitab yang sekeras kulit kayu itu. Matanya memicing dalam temaram cahaya, berusaha melihat sebuah gambar timbul yang terpatri sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Sihir Calon Arang (PRA-PESAN)
FantasyPernahkah kau mendengar tentang kisah Calon Arang, seorang penyihir wanita yang sakti mandraguna pada jaman Kerajaan Kediri? Calon Arang menuliskan semua ilmu sihirnya ke dalam lontar Lipyakara. Lontar sihir ini kemudian diamankan oleh Mpu Bharadah...