Bel tanda usai jam pelajaran berbunyi nyaring. Siswa-siswa berhamburan keluar begitu guru-guru mereka meninggalkan kelas. Seperti biasa, Dahayu berjalan keluar kelas setelah seluruh penghuninya meninggalkan ruangan itu dalam keadaan kosong. Kebiasaan ini tak bisa ia tinggalkan begitu saja, meskipun keadaan rumah maupun teman-teman di sekolahnya kini sudah jauh lebih menyenangkan. Dahayu perlu waktu untuk menyesuaikan diri.
Ia berjalan gontai menyusuri koridor sekolah menuju tempat parkir sepeda yang letaknya tak terlalu jauh dari kelas.
Dahayu sengaja memarkir sepedanya tidak pada tempat parkir umum sekolah karena lagi-lagi ia sudah terlalu terbiasa menyendiri. Ia menyimpan sepedanya di bawah pohon randu di dekat gudang sekolah agar tidak harus bertemu dengan siapa pun saat jam pulang.
Halaman depan gudang yang terletak di bagian belakang gedung utama sekolah dan terlindung oleh sebatang pohon randu besar itu telah sepi saat ia tiba di sana. Tangannya dengan cepat merogoh kantung terluar tas selempang untuk mengambil kunci dan gembok sepeda.
Bunyi gemerincing anak kunci yang saling beradu dengan gembok besi seketika menjadi satu-satunya suara yang memecah hening tempat itu. Entah mengapa, sepertinya ada yang ganjil di tempat itu. Namun, Dahayu berusaha mengacuhkannya dan menenggelamkan diri dalam aktivitas mencocokkan anak-anak kunci ke dalam gemboknya. Ia merutuk saat kesulitan melakukannya dan menyesali karena tak menandai kunci aslinya sejak dulu.
Tiba-tiba seseorang membekap mulutnya dari arah belakang. Gadis itu sontak berteriak seraya berusaha melepaskan bekapan dari mulutnya. Namun tak disangka, tubuhnya malah lebih dulu diseret paksa oleh tiga orang gadis berseragam putih abu-abu ke belakang gudang sekolah. Ia meronta dan menerjang ke segala arah, tetapi dua gadis diantaranya dengan sigap mengekang tangan dan kaki Dahayu.
Tubuh gadis itu lalu dihempaskan pada salah satu sudut halaman yang dipenuhi rumput setinggi betis orang dewasa. Halaman belakang gudang sekolah memang tak dirawat secara rutin karena memang jarang dikunjungi atau dilewati oleh warga sekolah.
Dahayu tersadar saat teriakannya telah teredam dan pada mulutnya telah tersumpal kain yang terikat di belakang kepala. Kedua lengannya juga tak dapat digerakkan karena terikat erat di belakang tubuh. Sementara sepasang kaki Dahayu yang berselonjor tahu-tahu telah terikat kencang oleh seutas tali tambang. Agaknya Dahayu terlalu terkejut hingga tak mengingat apa saja yang dilakukan ketiga gadis itu saat menyeretnya ke belakang gudang.
Dahayu membelalak saat mengenali bahwa pelakunya adalah Emily, Gladys, dan Silviana yang telah berdiri di hadapannya dengan berkacak pinggang. Sorot mata ketiga gadis remaja itu menyiratkan kebencian dan kemarahan kepadanya.
Linangan air mata seketika lolos dari pelupuk mata Dahayu. Ia menggeleng keras saat Emily berjalan mendekat lalu merenggut surai pendeknya kasar.
"Berani-beraninya kamu makan siang bareng Rafael. Kamu mau nantangin aku, hah?" bentak Emily tepat di depan salah satu telinganya.
Dahayu meringis seraya menahan nyeri pada akar-akar rambutnya yang ditarik oleh gadis itu. Ia menggeleng lemah.
"Jawab dong kalau ditanya!" hardik Gladys dengan suara melengkingnya yang kekanakan. Gadis itu seketika berjalan mendekatinya. Salah satu kakinya menendang tulang kering Dahayu hingga empunya menjerit tertahan di dalam kain yang menyumpal mulutnya.
Silviana tak mau kalah. Gadis bermata besar itu merangsek maju lalu membuka tutup botol air mineral dingin yang dibawanya tepat di atas kepala Dahayu. Air dingin seketika mengguyur kepala dan membasahi seragam gadis malang itu. Dahayu menggigil hebat.
Suara tawa penuh ejekan dan kepuasan seketika mendominasi tempat itu. Di sela-sela tawa jahat ketiga gadis itu, rintihan Dahayu yang sesekali terdengar lirih. Dahayu tertunduk dengan tubuh bergetar kedinginan. Beberapa luka kecil akibat seretan di beberapa bagian tubuhnya berdenyut nyeri. Namun, nyeri itu bukan apa-apa dibandingkan rasa sakit yang kini bersemayam di hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Sihir Calon Arang (PRA-PESAN)
FantasyPernahkah kau mendengar tentang kisah Calon Arang, seorang penyihir wanita yang sakti mandraguna pada jaman Kerajaan Kediri? Calon Arang menuliskan semua ilmu sihirnya ke dalam lontar Lipyakara. Lontar sihir ini kemudian diamankan oleh Mpu Bharadah...