Dahayu menghempaskan tubuhnya ke kasur, setelah mengunci pintu kamar. Tepat seperti dugaannya, Bibi Paulina memberondongnya dengan tuduhan dan pertanyaan karena pulang lebih awal dari biasanya. Gadis itu mengaku tidak enak badan hingga sang bibi membiarkannya ke kamar beruntung ada jaket Ryo yang menutupi seragam kotornya dari pandangan perempuan paruh baya itu. Jika tidak, tak terbayang bagaimana tampang marah dan tudingannya.
Dahayu menghela napas berat. Tatapan matanya menerawang pada langit kamar yang dipenuhi bekas-bekas jamur, tercetak bagai pulau-pulau kecil. Perasaan sedih dan getir bergumpal di dalam dadanya.
Segala perlakuan dan perkataan Emily, Gladys dan Silviana tadi terngiang kembali di dalam kepalanya. Bukan hanya sekali, tiga gadis populer yang dianggapnya sebagai monster di SMA Matahari itu mengintimidasinya. Ia muak. Namun, tak bisa berbuat apa-apa. Tidak peduli apa pun yang ia lakukan, pasti selalu salah di mata mereka.
Gadis malang itu mulai berangan-angan. Seandainya dia tak terlahir miskin, lebih cerdas, bukan seorang yatim piatu serta tidak memiliki tanda lahir aneh. Seandainya dia juga tidak terlahir sebagai Dahayu Gantari, pasti hidupnya akan jauh lebih baik.
Tiba-tiba netranya membulat sempurna. Gadis itu mengingat sesuatu. Ia segera bangkit dari tempat tidur lalu menuju meja belajar di mana tas selempangnya tergeletak setengah terbuka. Ujung buku tebal mencuat dari resleting yang terbuka separuh.
Dahayu segera meraih benda itu. Ia kembali mendudukkan bokongnya di tepi tempat tidur dan menyimpan buku sihir kuno itu di atas pangkuan.
"Aku punya buku ini dan masih ada lima permintaan lagi," gumamnya riang. Binar harapan terbit pada bola mata Dahayu dan seketika perasaannya menjadi ringan.
Ia sudah memutuskan. Ia ingin mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Setelah menarik napas dalam-dalam, Dahayu membuka buku itu perlahan. Gadis itu membuka lembar demi lembar halaman buku sihir yang kuning kecokelatan kusam karena dimakan usia sampai pada bagian halaman yang terdiri dari lembaran-lembaran kosong.
Wajah gadis itu mendadak semringah. Ia tak lagi berminat untuk sekadar mengganti seragam putihnya yang bernoda kecokelatan, juga tak peduli dengan aroma kopi yang menguar dari tubuhnya. Ia yakin semua ini akan segera berlalu dalam sekejap.
Dahayu meraih sebilah silet tanpa gagang yang tergeletak di atas meja riasnya. Noda darah yang telah kering terlihat samar menghiasi mata silet tajam itu, benda yang ia gunakan untuk melukai jarinya pada permintaan kedua semalam.
Gadis itu meringis saat mata silet berhasil melukai permukaan jari telunjuknya. Setetes darah kenal menyembul dari luka sayatan itu.
Dahayu menggigit bibir bawahnya seraya menahan perih, saat setetes darah segar jatuh pada halaman kosong Buku Sihir Calon Arang di pangkuannya. Tetesan darah itu tiba-tiba hilang dan meresap sempurna pada permukaan halaman kitab.
"Dados rencang kulo, kancani kulo, melu ning donyaku."
Asap putih seketika mengepul membentuk siluet sesosok makhluk besar dengan sepasang sayap yang mirip dengan sayap kelelawar. Gadis itu sempat bergidik ngeri melihat sosok menyeramkan yang terbang mengambang di langit-langit kamar.
Namun, dalam sepersekian detik kemudian Dahayu segera tersadar dan menyebutkan keinginannya dengan sepenuh hati.
"Aku ingin punya banyak uang," ucapnya lirih seraya mengawasi makhluk asap yang berputar mengelilingi langit-langit kamar. Lambat laun asap itu menipis dan sosok samar sang makhluk menghilang.
Dahayu bergeming menanti reaksi yang akan ditimbulkan dari permintaannya dengan harap-harap cemas. Hatinya bertanya-tanya, sebanyak apa uang atau emas batangan yang akan muncul di hadapannya begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Sihir Calon Arang (PRA-PESAN)
FantasyPernahkah kau mendengar tentang kisah Calon Arang, seorang penyihir wanita yang sakti mandraguna pada jaman Kerajaan Kediri? Calon Arang menuliskan semua ilmu sihirnya ke dalam lontar Lipyakara. Lontar sihir ini kemudian diamankan oleh Mpu Bharadah...