Elricho Nazriel Muhammad

3 0 0
                                    

Al Umar, 18.05 WIB
Ketika jam dinding tua yang tinggi dan besar diatas menara Al Umar berdentang kencang, menandakan akan dimulainya tadarus Al-Qur'an dan muthola'ah (yang diperuntukkan pada santri hafalan atau calon hafidz dan hafidzah). Para santri dan santriwati segera berbondong-bondong meninggalkan masjid menuju aula utama, berjalan berbaris dengan langkah pelan dan semangat, namun ada juga yang berlari kencang seakan takut tak kebagian tempat duduk.

Mereka mengejar waktu, karena sangat tak pantas bilamana mereka baru hadir ketika ustadz atau ustadzah telah berada di mimbar (kursi utama), yang dalam dunia pesantren dikenal dengan sebutan su'ul adab. Hal inilah juga yang tengah aku lakukan, aku mempercepat langkah menuju aula utama. Jika biasanya aku mengejar waktu agar tak tertinggal materi kyai, hari ini aku mengejar waktu karena tak ingin membuat santri-santri abah menunggu lama, sesuai dugaan.. hari ini aku mengajar, menggantikan ustadz Zhafran yang berhalangan hadir.

"Assalamu'alaikum yaa akhy wa ukhty.." salam saya di depan pintu kayu besar jalur keluarga pesantren.

" 'Alaikumsalam ustadz," koor para santri serentak, mereka berbisik-bisik setelahnya. Mungkin heran siapa laki-laki ini? Kemana ustadz Zhafran? Kok malah pria asing, mana masuknya lewat jalur keluarga pesantren pula.

" Bismillah, mungkin kalian semua heran mengapa saya berada di sini. Saya adalah utusan abah untuk menggantikan ustadz Zhafran yang berhalangan hadir, nama saya Richo . Semoga betah dengan penjelasan materi dari saya, ada pertanyaan?" kutatap para santri dihadapanku. Terlihat banyak tangan-tangan yang terangkat baik dari santri maupun santriwati.

"Ana ustadz!" suara-suara menggema meramaikan aula utama yang biasanya sunyi.

"Silahkan siapa dulu, keputusan di tangan kalian untuk ikhwan atau akhwat dulu. Silahkan ditentukan dan saya akan menjawabnya semampu saya. 10 orang, masing-masing akhwat-ikhwan!" tegasku meredam kebisingan. Sontak semuanya diam, aula yang tadinya bising dengan gema yang bersahutan kini hening seakan tak terjadi apa-apa.

Mereka pun berunding, dan akhirnya lima ikhwan dan lima akhwat telah duduk berbaris di paling depan. Tenang.. masih terhalang kain tebal kok.

Satu persatu dari mereka pun menuangkan pertanyaannya padaku. Rata-rata pertanyaan mereka adalah siapa aku dan hubungan dengan pesantren.

"'Afwan ustadz, kalau diperbolehkan tau antum sebenarnya sinten njih?" tanya seorang ikhwan pertama.

"Ustadz, apa antum gus Fawwaz yang kabarnya mengenyam pendidikan di Mesir?" ikhwan kedua.

"'Afwan ustadz, apa njenengan calonnya ning Nilam?" ikhwan ketiga.

"'Afwan, antum putranya abah?" ikhwan keempat.

"Antum, santri ndalem baru yang nderek abah? Ana baru lihat, 'afwan, tapi kok antum sudah dipercaya buat menggantikan ustadz Zhafran. Antum ada hubungan apa dengan keluarga ndalem?" ikhwan kelima.

"Bismillahirrahmanirrahiim, baik akan saya jawab pertanyaan antum sekalian. Ikhwan dulu ndak apa apa nggih? Dari pertanyaan pertama, siapa saya? Saya Richo, santri Ar-Raudlah sama seperti antum. Kedua, bukan. Saya bukan gus Fawwaz, seperti yang kalian ketahui gus Fawwaz adalah putra kedua kyai Amir, saya ini adalah santri biasa, bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan gus Fawwaz. Ketiga, jangan menduga-duga sesuatu yang tak seharusnya diduga, bisa timbul fitnah. Keempat, abahnya siapa? Abah saya dirumah, mungkin sedang membantu ummi saya mencuci baju. Kelima, bisa jadi. Saya baru masuk pesantren minggu lalu, jadi wajar saja wajah saya asing buat antum. Kalau untuk urusan itu, boleh ditanyakan langsung pada kyai Rofiq (abah). Cukup ya, masih ada pertanyaan terpendan dari santri putri. Antum (re: ikhwan) silahkan kembali ke posisi awal. Silahkan mbak-mbak, monggo.."

"'Afwan ustadz, menawi kirang sopan. Sepertinya antum sepantaran kami, benar begitu?" akhwat pertama.

"Ustadz, masih single? Buka lowongan nggak?" pertanyaan akhwat kedua ini membuat saya dan teman sejawatnya mengelus dada beristighfar. Ada-ada saja.

"Ustaadz, Ustadz kenapa pendiam, datar, dingin gitu? Ustadz Zhafran aja suka bercanda, tidak boleh sombong Ustadz, harus merakyat." Akhwat ketiga memandang sinis. Santriwati memang uniknya ma syaa Allah.

"Ustadz, kriteria calon ibu gimana? Yang suaranya bagus dan suka sholawatan kan?" Akhwat keempat. Makin kesini pertanyaannya membuat saya banyak-banyak beristighfar.

"Ustadz yang nabrak saya kemarin kan, iyakan mbak Dhir? Ustadz kenapa dipanggil mas, memangnya ustadz siapa? Kenapa harus dipanggil mas? Kenapa mbak Ci takut banget pas dia pergi gitu aja, sudah tidak minta maaf, tidak merasa bersalah pula. Ustadz masa gitu?" pantas muka nya seperti tidak asing, akhwat kelima ini gadis ceroboh di pelataran masjid kemarin. Banyak tanya dan praduga, menoleh kanan kiri memastikan jawaban kawannya. Sabar, harus ekstra sabar. Orang sabar rezekinya lancar.

"Bismillahirrahmanirrahim. Baik, cukup. Untuk yang pertama, bisa jadi, saya kelas 3 SMA. Kedua, kalau saya masih SMA dan status santri berarti? Bisa dijawab sendiri kan mbak? Ketiga, bawaan lahir. Keempat, alhamdulillah ummi saya sehat wal 'afiat, dan bagi abah cukup ummi, tidak nambah lagi, ummi adalah guru ngaji. Kelima, maaf mbak kebalik, mbaknya yang nabrak saya, tidak harus panggil saya mas, nama saya Richo panggil saja begitu. Dan,, merasa bersalah, untuk apa? Anti yang ceroboh, bukankah kemarin anti baru saja melayangkan maaf?! Sudah ya, sekian dulu. Hari ini ngajinya ditunda dulu, absen saja supaya saya gampang membedakan kalian. Dua kubu masing-masing menulis nama dan kota asal ya, nanti kertasnya titipkan kang Sobri agar diberikan pada saya, saya ada urusan diluar, mari. Akhirul kalam, wa billahi taufiq wal hidayah wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarakaatuh."

"Wa'alaikumussalam warohmatullahi wabarakaatuh" koor para santri.

****

Lanjut? Yokk yokk vote comment nya jangan lupa.

Akhir Kisah Kang SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang