Sepi pada selasar membuatku beringsut bersama malam. Mumpung langit sedang bersahabat. Bertabur bintang bermandikan cahaya bulan. Bukankah berimajinasi di kala begini adalah sesuatu yang asyik?
Semburat gemerlap bintang, seakan menemaniku mengelilingi alam bawah sadar. Tak lupa segelas teh hijau hangat sebagai pemanis malam yang menyejukkan ini.
Percayalah bahwa hidup penuh dengan imajinasi adalah hal yang luar biasa. Seakan akulah pemilik cerita yang kapan saja bisa membuat tokohnya bahagia atau mungkin sedih. Bahkan aku bisa membuat diriku sendiri hidup dalam kebahagiaan yang tentu saja tidak kurasakan dalam kehidupanku yang nyata.
Angin semilir menyadarkanku bahwa malam ini, mimpiku telah menjadi nyata. Sungguhkah? Bahkan aku masih belum menyangka, sama sekali.
"Mama--"
Tunggu. Kuyakinkan bahwa suara gadis kecil ini adalah milik putriku seorang. Aku menoleh pada putriku ketika jemarinya yang imut mulai mencolek tanganku. Kehadirannya sedikit pun tak menggangguku yang sedang menikmati temaram lampu kota malam ini.
"Kau belum tidur?" tanyaku pada putriku yang baru berusia enam tahun itu.
Kepalanya menggeleng sembari menyandarkan tubuhnya padaku yang sedang duduk. "Aku baru selesai membantu Papa membereskan barang-barangnya."
Aku memicingkan mataku seolah bertanya, sungguhkah anakku ini membantu ayahnya atau malah membuat gaduh.
Kekehannya membuat rongga pada giginya terlihat. Seraya menggaruk tengkuk kepalanya yang tak gatal, putri kecilku ini menunjukkan sebuah foto yang sudah tak asing bagiku. "Aku menemukan foto ini di lemari Papa. Siapa pria ini, Ma? Kenapa wajahnya mirip sekali dengan Papa?"
Ahh! Baru kuingat, rasa-rasanya aku pernah mengambil foto ini sekitar lima belas tahun yang lalu. Foto yang akhirnya kuberikan padanya ketika aku datang menghadiri acara fansign kala itu.
Sungguhlah, aku selalu mengenang masa itu. Masa di mana aku masih berpikir bahwa memilikinya adalah suatu ketidakmungkinan yang nyata. Sosok yang selalu kucinta walau dalam imajinasiku saja.
Aku-- seorang penggemar yang jatuh cinta pada idolanya, baik di dunia imajinasiku juga pada kehidupanku yang sesungguhnya.
"Papamu--" jawabku singkat sembari mengambil foto itu dari tangan mungil putriku.
"Apakah papa adalah seorang penyanyi? Kenapa di foto itu, Papa seperti sedang beraksi di atas panggung?"
"Kau percaya jika dulu banyak sekali wanita yang mencintai Papa?"
"Papa seorang playboy?" tanyanya kini menyelidik.
Aku tertawa melihat wajah putriku yang berubah serius. Kuusap lembut kepalanya, seakan ingin memberi pengertian bahwa selama aku mengenal ayahnya, dia adalah sosok pria yang selalu berhasil membuat siapapun takluk-- termasuk aku, istrinya.
"Papa bukan seorang playboy. Papa hanyalah seorang pria yang dicintai banyak orang di luar sana karena suaranya."
"Membicarakanku?"
Yang dibicarakan seakan tahu jika dirinya memang sedang dibicarakan. Aku melirik ke arahnya, seraya melemparkan senyum terbaikku ketika saat ini dirinya tengah memeluk tubuhku dari belakang.
Pria itu. Kim Jongdae.
Sosok idola yang kini telah menjadi milikku--suamiku.
Tak ada yang berubah selain status kami.
Pada kenyataannya, cintaku masih sama. Entah saat aku masih jadi penggemarnya juga aku yang kini telah menjadi istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cermin Perasaan
Non-FictionMari bercerita mengenai isi hati, Mari bercerita mengenai perasaanku juga perasaanmu,