Aku mendelik gusar sesaat sadar bahwa pria di depanku tengah mengumbar senyum. Bahkan sudah hampir tiga puluh menit, giginya tak kunjung lenyap dari pandanganku. Masih dalam mode 'pamer' seperti hendak menunjukkan ketampanannya pada ribuan wanita di sana.
Mataku mengerjap geli menahan riuh gemuruh lantunan sopran serta alto yang tak membentuk harmoni sama sekali. Mulut mereka terus menerus menyebut namanya. Membuatku ingin sekali melempar sandal ke arah pria 'tampan' itu yang malah memancing keributan dengan membuat finger heart untuk para penggemarnya.
"Lihatlah! Bukankah dia sengaja melakukannya?!" suaraku melengking sembari meremas lengan kursi yang tak ada empuknya sama sekali.
"Cemburu?"
"Tidak!" cepat-cepat aku segera menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dilontarkan lagi olehnya--sosok pria yang kerap menemaniku ketika ia sedang senggang.
Meratapi nasib di belakang panggung karena harus melihatnya melakukan apapun sesuai dengan kehendak hatinya, sama saja seperti sedang menelan kerikil secara paksa--sakit. Kenyataannya, aku memang bukan siapa-siapa. Hanya salah satu pekerja di balik panggung bagi agensi yang menaunginya.
"Jaehyun memang sepopuler itu. Kau tidak perlu sesumbar." ujarnya mengingatkan seraya tertawa.
Tangannya yang mengusak lembut surai hitamku, membuatku melirik ke arahnya. "Kenapa kau ada di sini? Bukankah seharusnya kau ada di atas panggung?"
"Bukankah seharusnya kau tahu jika sekarang adalah waktunya Jaehyun untuk perform solo?"
Ahh, sial. Aku bahkan sampai lupa. Pantas saja, pria berkulit mulus itu terus-menerus memamerkan senyum andalannya sejak tadi. Apakah dia tidak sadar jika dirinya selalu berhasil membuat semua wanita belingsatan?!
"Aku tidak peduli." sanggahku yang tengah berusaha menutupi rasa maluku. Brengsek, kenapa aku jadi salah tingkah.
Namun, yang diajak bicara lagi-lagi malah tertawa melihat semburat merah bersemu pada kedua pipiku. Sumpah, aku tidak tahu mengapa aku selalu kesal tiap kali Jaehyun mengumbar senyum mautnya pada banyak wanita.
"Bagus jika kau memang tidak peduli padanya--" jeda yang sengaja dibuatnya berhasil membuatku menoleh padanya. Namun, entah sejak kapan kedua maniknya sibuk menatapku yang sedang memperhatikan Jaehyun di atas panggung.
"Karena memang sudah seharusnya kita hanya peduli pada orang yang amat berarti untuk kita." lanjutnya. Sepasang obsidiannya masih terus menempa mataku.
"Maksudmu?"
"Dan biasanya, di balik rasa peduli yang kita miliki, pasti ada rasa cinta yang tersembunyi."
"Aku tak mengerti maksudmu."
Tunggu, tunggu. Sejak kapan senyumnya menjadi semanis ini? Bahkan tangannya yang sejak tadi bersedekap, kembali mengusak rambutku dengan penuh kehangatan. Lembut sekali.
"Aku sangat peduli padamu dan tak bisa lagi kumungkiri." pungkasnya kemudian pergi meninggalkanku yang masih mematung.
Sialan. Dia membuatku kinerja otakku bertambah dua kali lipat.
Dia bilang, dia sangat peduli padaku?
Oh, shit! Aku mengerti!
"Moon Taeil, tunggu aku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cermin Perasaan
Non-FictionMari bercerita mengenai isi hati, Mari bercerita mengenai perasaanku juga perasaanmu,