Episode Sembilanbelas Bagian Satu (Rahasia Garis Pantai)

6.9K 161 48
                                    

Malam begitu menawan. Ketika sang dewi  menunjukan dirinya, awan yang tipis seolah memberikan kesempatan pada ratu malam itu untuk tersenyum penuh. Sementara angin berembus menggoyangkan ujung daun yang ikut menari melihat pesona malam yang benderang.

Sepasang mata tajam mengamati dua pasang manusia yang berjalan menyusuri garis antara pertemuan dua alam. Alam yang penuh dengan misteri di bawahnya yang pekat dan alam dengan barisan pohon raksasa yang menjulang.

Sepanjang mata memandang maka hamparan birulah yang terlihat tanpa bertepi, namun ketika tubuh sejajar dengan garis itu maka sepanjang mata memandang hamparan putih terpancar bersama bias dewi malam yang tersenyum menerangi.

Dua pasang muda  mudi itu terus menyusuri garis laut yang beriak menaiki pasir putih, kaki mereka basah disapu air yang sesekali menghempaskan dirinya di bibir pantai. Dua pasang muda-mudi itu yang tak lain Latta Manjari dan Layang Samba terbius dengan suasana malam yang benderang. Wajah gadis itu begitu menawan, diterpa sinar sang dewi malam yamg seakan cemburu dengan kecantikannya.

"Tuan Putri harus bisa menerima kenyataan ini, jalani dengan penuh harapan, kita hidup harus dengan harapan, karena harapan dapat mendorong kita untuk maju lebih ke depan," ucap Layang Samba sesekali menatap gadis cantik di sampingnya.

" Aku percaya bahwa semua yang aku jalani selama ini adalah widi dari-Nya," jawab Latta manjari, ia menghentikan langkahnya. Matanya menatap hamparan laut yang menderu dihempas angin pantai, "namun sebagai manusia kita mempunyai pilihan dalam hidup, aku ingat dengan kata Kakang Jambu Nada, bahwa hidup ini adalah pilihan dan hidup berasa singkat untuk pilihan yang salah."

Layang Samba mendengus menyembunyikan warna hatinya, ditatapnya lamat-lamat bibir yang bergerak dengan teratur, berdesir hatinya. Senyumnya kemudian mengembang.

"Baiklah Tuan Putri," katanya lalu berdiri persis di depan Latta Manjari, "kemajuan Tuan Putri sangat pesat beberapa hari ini. Langkah dan kecepatan Tuan Putri semakin bertambah. Kita mulai lagi?"

Latta Manjari tersenyum mendapatkan pujian, menampakan deretan giginnya yang rata selaras dengan bibirnya yang tipis. Matanya masih tertuju pada deru ombak yang terus berkejaran menuju garis pantai. Dua tahun di tempat ini menjadikan ia banyak berubah yang dulunya tidak menyukai perkelahian gini pandangan itu tak dapat lagi ia pertahankan. Hidup di alam yang bebas dan begitu keras memerlukannya untuk memiliki ilmu kanuragan, paling tidak mampu membela diri. Selama rentan waktu itu pula kini ia menjelma menjadi salah satu perempuan yang lihat memainkan pedang dan tidak asing lagi dengan berbagi jenis ilmu kanuragan.

"Aku rasa kali ini sudah cukup, Kakang,'' balas Latta Manjari , "aku mengucapkan terima kasih pada Kakang yang ikut membantu dalam perkembangan ilmu kanuraganku. Ini semua tentu berkat Paman Mertaka dan Kakang yang terus membimbingku."

"Kalau begitu, mari kita kembali saja. Sepertinya yang lain sudah menunggu kita."

"Silakan terlebih dahulu Kakang, aku masih ingin menikmati malam ini sendiri, sampaikan salamku pada mereka, jangan khawatir aku tidak akan ke mana-mana,'' kata Latta Manjari tegas, pada dasarnya memberikan sebuah perintah pada Layang Samba.

Layang Samba melengos kecewa, ia tidak bisa menolak apalagi terselip kata 'sendiri' yang seolah mengusirnya secara sopan. Putra mendiang Mpu Tong Bajil itu segera melangkahkan kakinya perlahan-lahan dan semakin jauh menuju tepi hutan, berikutnya tubuh pemuda itu ditelan hutan yang lebat.

Latta Manjari mendekatkan dirinya dengan bibir pantai. Membiarkan dengan begitu saja kakinya tersapu air laut yang asin. Ia memejamkan matanya dengan kedua tangan yang direntang. Seolah memeluk angin laut.

Rangkaian peristiwa yang terjadi pada dirinya layaknya sebuah lakon yang kadang kala menempatkan ia sebagai penonton. Perasaan gamang bergumul seperti air laut yang mengendapkan pasir. Ia memang terlihat begitu yakin di depan orang banyak namun sejatinya kebimbangan belum enyah dari pemikirannya.

SATRIA WILWATIKTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang