5. First Day

76 11 0
                                    

 
Gadis itu sudah bersiap dengan seragam sekolahnya. Rok hitam selutut dengan polet dua garis warna putih di bagian bawah, kemeja putih yang dibalut rompi biru tua, dan dasi pita warna hitam. Rambut cokelat gelap yang ujungnya bergelombang dihiasi bandana motif kotak-kotak warna hitam dan putih. Velicia tersenyum di depan cermin lonjong melihat penampilannya.

Diraihnya tas gendong di meja belajar kemudian melangkahkan kaki menuju lorong yang panjangnya empat meter. Begitu dia mencabut kartu yang ada di samping pintu, lampu di kamarnga mati setelah jeda beberapa detik. Dia segera keluar untuk mengejar waktu. Begitu sampai di lantai dasar, kedua orang tuanya dan Sumi sudah menunggu di ruang utama.

Mereka berangkat sama-sama.

“Seragam Sumi nggak pakai atribut memangnya nggak pa-pa?” Velicia menatap penampilan gadis desa itu, berseragam putih biru khas sekolah menengah pertama, tapi pakaiannya sangat kusut, terlihat sekali seragam baru dibeli.

“Yang penting berseragam sekolah,” jawab Hans seraya membuka pintu mobil untuk istrinya.

Semuanya telah berada dalam satu mobil. Velicia segera mengangkat tangannya untuk menghidupkan AC. Mobil melaju melewati halaman luas, gerbang terbuka secara otomatis, mereka pun meninggalkan kawasan perumahan elit tersebut.

“Veli, nanti ditesnya apa aja?”

Velicia menoleh, pertanyaan Sumi benar-benar membuatnya malas menjawab. “Tulis,fisik, wawancara.”

“Semua murid yang daftar bisa diterima, kan?”

Pertanyaan polos apa itu? Velicia menyipitkan matanya. “Mana mungkin.”

“Gimana kalau aku nggak diterima?”

Velicia memilih untuk menyibukkan diri dengan I-Pad pronya daripada menjawab pertanyaan tidak bermutu itu. Dia membuka agenda, jadwal kegiatannya minggu ini benar-benar padat. Ditambah menerima projek dari David.

“Sumi, nanti kamu pulangnya sendiri. Terserah kamu mau pakai jasa taksi online mau pun offline, biar ongkosnya Veli yang bayar.”

“Memangnya kamu mau ke mana?”

Gadis itu tidak menyukai pertanyaan-pertanyaan Sumi yang menurutnya tidak penting. Kedua orang tuanya sudah tahu alasan di balik putrinya yang tidak menjawab. Felyana menatap Velicia dari kaca spion tengah. “Pulangnya jangan terlalu malam, Vel.”

“Kemungkinan akan malam. Mama nggak usah khawatir, kan ke sananya sama Pak Dirga.”

Hans ikut menatap Velicia dari spion tengah. “Telepon Papa jika ada apa-apa.”

“Baik.”

Gerbang SMA Pancasila terbuka lebar untuk menyambut calon muridnya. Melewati gerbang yang menyembul tinggi, halaman luas sebelum memasuki tempat parkiran, dan bangunannya menjulang lima lantai. Velicia segera turun untuk meneliti lingkungan. Dari segi bangunan, Velicia cukup tertarik, secara ini sekolah internasional.

Hans dan Felyana mengapit Velicia saat berjalan menuju tangga untuk memasuki gedung sekolah. Beda lagi dengan Sumi yang mengekor sendirian di belakangnya sambil menunduk. Di sepanjang koridor, Sumi menjadi pusat perhatian orang. Penampilannya sangat berbeda dengan calon murid lainnya yang terlihat rapi dengan seragamnya. Hans membawa ketiga orang tersebut menuju suatu ruang, di mana seorang pria berkepala botak duduk di kursi kekuasaannya.

“Hikmal!” Felyana langsung berhambur ke pelukan pria yang baru saja berdiri.
 
Hans memaklumi aksi istrinya yang memeluk pria tersebut, beda lagi dengan Velicia. Gadis itu melotot melihat mamanya memeluk pria lain selain papanya. Hans mengusap lengan tas putrinya sebagai wakil kata-kata ‘tidak perlu khawatir’.

For the World We're Gonna Make [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang