Pelangi

10 1 0
                                    




"Mbaaak!" Teriakan Diaz yang disertai dengan lambaian tangan dari seberang jalan mengagetkan Tika yang baru saja keluar dari kantornya. Untuk hari Sabtu, Tika hanya masuk setengah hari. Dan hari ini lagi-lagi Diaz yang sedang libur kuliah datang menjemput.

"Astaga ini anak, bikin malu aja sih, teriak-teriak." gerutu Tika sambil berusaha menyembunyikan wajahnya dengan map yang dipegangnya, karena suara Diaz yang melengking membuat dirinya menjadi pusat perhatian bapak-bapak tukang ojek yang mangkal di ujung jalanan.

Tika berlari kecil menghampiri Diaz, kemudian memukul laki-laki itu dengan map yang semula digunakan untuk menutup sebagian wajahnya.

"Aduduh... mbak kenapa sih?" Diaz pura-pura kesakitan.

"Kamu nyebelin tau nggak sih. Bikin malu." omel Tika sambil naik ke boncengan motor bebek Diaz, sementara Diaz hanya terkekeh karena puas mengerjai Tika.

"Pegangan, mbak." Diaz meraih tangan Tika dan meletakkannya di kedua pinggangnya. Wajah Tika seketika memerah dengan perlakuan Diaz.

"Mau kemana kita?" tanya Tika sambil menikmati aroma cologne yang digunakan Diaz dari balik punggung laki-laki itu.

"Udah, ikut aja. Aku yakin mbak pasti suka."

Namun sayang, tak berapa lama mereka melakukan perjalanan, hujan deras tiba-tiba turun. Mereka pun berhenti untuk berteduh di warung kopi pinggir jalan pertama yang mereka temui.

"Yah hujan..." keluh Tika sambil membersihkan pakaiannya dari tetesan air hujan.

"Dingin mbak?" Tanya Diaz yang tanpa menunggu jawaban dari Tika, dia langsung melepas jaketnya, mengibaskannya dari sisa-sisa air hujan lalu memakaikannya pada Tika.

"Hmm, makasih."

"Pak, kopi susu, dua ya!" seru Diaz pada penjaga warung kopi. Yang tanpa menunggu lama 2 cangkir kopi susu hangat sudah terhidang di hadapan mereka.

"Makasih pak," kata Tika sambil tersenyum. Tika segera menelangkupkan kedua tangannya ke cangkir kopi, mengharap kehangatannya mampu menelusup ke seluruh tubuhnya yang mulai menggigil.

"Mbak, duh maaf perjalanan kita jadi terganggu. Perasaan tadi cerah-cerah saja, kaget juga tiba-tiba hujan."

"Aih, nggak apa-apa, bukan salah kamu juga turun hujan."

Untung saja, hujan turun tak terlalu lama. Begitu cangkir-cangkir kopi mereka tandas, dan beberapa buah pisang goreng ikut lenyap, mereka segera melanjutkan perjalanan.

Pemandangan laut mulai menyeruak di sela-sela jalan yang berkelok-kelok, laju motor Diaz dipercepat sehingga mau tak mau Tika juga mempererat pegangannya di pinggang Diaz. Jantungnya tak berhenti berdegup dengan kencangnya, sehingga gadis itu tak berani terlalu menempelkan tubuhnya pada punggung Diaz, takut kalau-kalau laki-laki itu akan merasakan degup jantung yang tak terkontrol itu.

"Pelangiiii....." pekik Tika sambil meloncat turun dari sepeda motor. Melepas sepatu high heels-nya, gadis itu berlari di atas pasir putih sambil merentangkan tangan seolah ingin memeluk pelangi yang melengkung sempurna di atas hamparan biru lautan dan berjingkat senang ketika debur ombak menyentuh ujung kakinya.

Diaz tersenyum memandang gadis itu dari kejauhan. Gadis yang dilihatnya saat ini sungguh nampak seperti orang yang berbeda dari orang yang ditemuinya beberapa minggu lalu. Siapa yang menyangka bahwa gadis ini pernah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya jika melihat tawanya saat ini.

"Diaazz, ayo kesini!" teriak Tika menggamit Diaz yang masih saja berdiri di samping sepeda motornya. "Kita foto selfie dulu, buruan keburu pelanginya ilang."

"Iyaaa mbak, tunggu." Diaz pun melepas sepatunya lalu berlari menyusul Tika. Setelah puas mengambil beberapa pose, mulai pose manis sampai duck face, Tika beralih mengarahkan kamera ponselnya ke arah perpaduan dari bebatuan, pasir dan ombak lautan. Memandang Tika yang sibuk sendiri, Diaz iseng mengambil segenggam pasir yang langsung dilempar ke arah rambut Tika yang tergerai dimainkan angin.

"Diaazz, apa-apaan sih!" omel Tika sambil membersihkan rambutnya dengan jari-jarinya. Lalu gadis itu malah tertawa dan balas menyerang Diaz dengan serampangan meraup pasir kemudian melemparkannya ke arah Diaz.

"Aw.. aw..," pekik Diaz mendramatisir sambil menutupi sebelah matanya.

"Duh, kenapa? Kena mata ya? Aduh maaf," Tika mendekat dan meraih tangan Diaz yang sedang menutupi sebelah matanya agar gadis itu bisa melihat apa benar ada pasir yang tak sengaja masuk ke mata laki-laki jangkung ini. Mata Diaz memang terlihat sedikit memerah. Dengan perasaan bersalah Tika menarik Diaz untuk duduk di bawah salah satu pohon  yang berada di tepian pantai.

"Aku nggak apa-apa kok mbak." kata Diaz karena merasa tidak enak melihat ekspresi bersalah di wajah Tika. Tanpa menghiraukan kata-kata Diaz, Tika mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Diaz, lalu meniup-niup mata kanan Diaz yang terkena pasir. Laki-laki itu mengerjap-ngerjap.

"Gimana udah enakan?" tanya Tika. Saat itu pula dia baru menyadari, betapa laki-laki ini memiliki raut wajah yang lumayan ganteng. Mata coklat yang meneduhkan, alis tebal dan ada lesung di pipi kirinya saat dia tersenyum.

"I..iya, makasih..., mbak." jawab Diaz sambil tersipu yang kemudian membuat mereka saling tersadar bahwa wajah mereka berdua sedang sangat berdekatan. Tanpa menunggu komando lagi, Tika segera menjauhkan tubuhnya.

"Maaf."

Diaz merebahkan tubuhnya di atas pasir yang mulai terasa dingin karena nampaknya matahari sudah mulai akan terbenam di ujung lautan. Menyiratkan semburat jingga berbaur dengan warna biru gelap yang indah.

"Mbak, apa hari ini aku sudah berhasil membuat kamu senang?" tanya Diaz sambil melirik ke arah Tika yang sedang duduk tegak disampingnya, memandangi fenomena matahari terbenam. Tika menoleh sambil tersenyum.

"Aku sangat senang, hari ini bisa melihat 3 keindahan ciiptaan Tuhan sekaligus." gumam Tika sambil kembali tenggelam memandang senja.

"Tiga?" tanya Diaz sambil mngernyit.

"Iya... tiga, pelangi, senja, dan...," belum sempat Tika menyelesaikan kata-katanya, ponsel Diaz berbunyi.

"Maaf, aku angkat telepon dulu ya mbak." Diaz berdiri dan berjalan menjauhi Tika.

Tak berapa lama Diaz pun kembali dengan raut wajah yang sedikit suram.

"Ada apa, Di?" tanya Tika heran melihat perubahan raut wajahnya.

"Ah, nggak ada apa-apa mbak. Kita pulang sekarang aja yuk, takut kemaleman nanti kamu sampai rumahnya." ajak Diaz sambil membantu Tika berdiri.

"Hmm, okay."

Sepanjang perjalanan pulang, Tika merasakan ada perubahan pada diri Diaz yang biasanya ceria, banyak bicara, namun kali ini hanya diam membisu dan hanya sesekali menanggapi pertanyaan-pertanyaan Tika tentang hal-hal yang dilihatnya di jalanan. Sampai akhirnya mereka sampai di depan rumah Tika.

"Di.., makasih ya, buat hari ini." kata Tika setelah mereka turun dari motor. "Kamu nggak mau mampir dulu?"

"Nggak mbak, aku langsung aja. Kamu cepetan istirahat ya!"

"Ok, kamu juga ya. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Baru saja Tika berbalik hendak memasuki pintu rumah, Diaz memanggilnya.

"Mbak!"

"Ya?" Tika urung masuk ke rumah dan berbalik menghampiri Diaz lagi.

"Tadi, yang kamu bilang di pantai, tentang tiga keindahan ciptaan Tuhan, pelangi, senja, satu lagi apa?" tanya Diaz. Tika tertawa kecil mendengar pertanyaan Diaz.

"Kamu." jawab Tika singkat sambil mencoba menebak reaksi Diaz di bawah redup sinar lampu teras rumahnya.

"Hah?"

"Aku masuk duluan ya."  pamit Tika yang kemudian dibalas anggukan Diaz setelah beberapa lama termenung. "Selamat malam, Di."

"Selamat malam, mbak."

Pelangi KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang