"Ayah, bagaimana cara mendapatkan harta tak ternilai dari raja? Apakah sulit?"
"Tidak, sangat mudah sampai kau tak perlu susah memikirkan caranya. Tapi mungkin.. kau hanya akan kesulitan dalam menjaganya."
Mada kecil menatap ayahnya, hal yang aneh baginya. Kerana tak seorang pun akan lalai jika menjaga harta sangat berharga, "Kenapa sulit menjaganya, Ayah?"
Ra Kuti menatap paviliun itu dengan pandangan pilu. Api membakar tempat itu dengan cepatnya. Membakar setiap jejak bangunan yang terletak paling utara istana, sisi yang hanya boleh dimasuki oleh keluarga kerajaan.
Matanya yang kecoklatan menatap kosong pada setiap percikan api didepannya. Suara bangunan yang runtuh perlahan, mengiringi suara gemuruh perang dari luar istana.
Runtuh, seperti bangunan itu, kekuasaannya akan runtuh. Terlalu singkat, kurang dari empat bulan. Ra Kuti tahu dia akan kembali turun dari tahta Majapahit, tetapi tidak secepat ini. Entah dari mana raja boneka itu mendapat dukungan pasukan. Mungkin benar, rakyat pada akhirnya hanya akan mengabdi pada raja yang sah— yang katanya perwujudan dewa.
"Apa yang kau harapkan dari bangunan itu?"
Ra kuti membalikkan badannya. Seorang prajurit muda yang mengintrupsinya. Prajurit itu memegang tombak, sama sepertinya. Berbeda dengannya, orang itu nampak terengah dengan tubuh penuh luka dan bercak darah.
"Kau kah pemimpin muda bhayangkari yang terkenal itu? Ah, ternyata Tadah tidak lah membesar-besarkan kehebatanmu ya. Kau berhasil masuk kesini dan mengalahkan prajurit andalanku yang menjaga di depan."
Seperti dugaannya, prajurit yang dia kenal dengan nama Gadjah Mada itu tidak mengambil waktu lama. Sebuah serangan tombak terhunus tepat didepannya. Tentu saja Ra Kuti cepat menyadarinya dan menghindar. Dia tidak mengambil langkah mundur terlalu jauh, walaupun senjatanya lebih efisien digunakan pada jarak tertentu, tetapi bagi Ra Kuti ini adalah hal yang biasa— pengalaman telah mengajarkannya lebih.
Dia mengulur tombaknya ke belakang dengan cepat dan memegang penyangga mata pisaunya, mengarahkannya langsung pada perut Gadjah Mada. Prajurit itu mengangkat tombaknya terlalu tinggi, meninggalkan celah kosong pada bagian perutnya.
Meleset.
Darah membekas di mata pisaunya, tetapi hanya menggores perut Gadjah Mada. Mengambil langkah mundur, Ra Kuti kembali mengulur tombaknya ke depan, memegangnya seperti pedang.
Tombaknya yang lebih ramping dan pendek dari punya Gadjah Mada, membuatnya lebih cepat bermanuver dan kembali menyerang sang prajurit yang masih terengah karena goresan di perut. Sepertinya walau masih bisa menghindar, serangan tadi tetap berhasil meninggalkan goresan yang cukup dalam.
Trang!
Lagi-lagi Gadjah Mada berhasil menangkis serangannya. Kali ini dengan gagang tombaknya. Dengan cepat Ra Kuti menarik tombaknya dan menendang Gadjah Mada tepat diperutnya yang terluka dengan sekuat tenaga.
Prajurit itu terhempas jauh dan jatuh. Tombak terlepas dari tangannya. Dia terus memegangi perutnya yang kesakitan akibat luka dan tendangan yang sangat kuat. Ra Kuti sadar, jika dibiarkan, orang itu akan pingsan karena kehilangan darah.
Mendekat perlahan, Ra Kuti menodongkan tombaknya pada Gadjah Mada. Dia menatap lekat mata yang menatap nyalang padanya itu. Bahkan di ujung kematiannya, mata itu tetap memiliki sinar perlawanan yang kuat.
Haah, Ra Kuti menghela nafas panjang. Dia tidak habis pikir, bagaimana raja bodoh itu bisa mendapat kesetiaan dari prajurit tangguh didepannya. Tidak satu pun hal yang membuat raja itu berhak mendapat kesetiaan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Treasure, Trust, Treason
Historical FictionJayanegara, Gadjah Mada dan Ra Kuti. Dipertemukan dalam satu tragedi. Trowulan yang termahsyur menjadi saksi bisu pertemuan pilu tersebut. . "Aku dibesarkan dalam kesengsaraan di tempat itu. Jika memang harus mati, maka aku harus tiada dalam kesengs...