19. Salah Paham

3.3K 327 2
                                    

Cameron's P.O.V

Aku mengelarkan pandanganku ke kerumunan orang yang tengah menunggu kedatangan seseorang yang mereka tunggu. Di antara kerumunan itu aku tak menemukan dia. Sia-sia rasanya ketika aku tak juga menemukannya. Dia tidak ada.

"Nash, di mana mereka?" Tanyaku kepada Nash yang berdiri di sebelahku sambil memainkan ponselnya.

Ia mengangkat kedua bahunya acuh. "Coba aku hubungi Elle dulu."

Aku hanya mengangguk menanggapinya. Sungguh aku tak sabar bertemu lagi dengan Dakota yang katanya akan ikut menjemput. Perasaan cemas mengenai kebocoran masalahku dan Madison tergantikan dengan perasaan tak sabarku untuk bertemu Dakota.

"Bagaiamana?" Tanyaku kepada Nasg yang kembali memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana.

"Tak diangkat," Nash menjawab dengan lesu. Aku tahu ia sama kecewanya denganku. Tapi tak apa lah mungkin mereka sedang ada kesibukkan. Kita pun juga tak bisa memaksa.

"Kita naik taksi saja," usulku. Daripada berlama-lama di sini menunggu mereka menjemput, lebih baik naik taksi. Menghemat banyak waktu. Baru saja kita akan beranjak, seseorang memanggil nama Nash berkali-kali. Seorang gadis berambut pirang yang tergerai berlari menghampiri kami. Rambut pirang emasnya bergoyang ketika ia berlari, mengingatkanku kepada Dakota yang memiliki warna rambut yang sama dengannya.

Aku tak dapat bisa melihat wajahnya dengan jelas karena ia mengenakan kacamata hitam.

Senyumanku langsung pudar dikala gadis tadi memeluk Nash dengan erat. Ia melepaskan kacamatanya. Itu Elle.

"Aku sangat merindukanmu, Nash," ucapnya di dalam dekapan Nash. Aku mengalihkan pandanganku, mencari-cari keberadaan Dakota.

Mereka melepaskan pelukannya. Elle hanya tersenyum kecil kepadaku. Meskipun wajahnya terlihat biasa saja tapi tidak dengan matanya yang seakan menyiratkan kebencian.

"Di mana Dakota?" Rahangnya mengeras dikala aku menanyakan Dakota. Ia membuang pandangannya, tak berniat untuk membalas tatapanku.

"Dia sakit," ujarnya dingin. Aku terdiam. Perasaan bersalah mulai menggerogotiku, bagaimana aku bisa tak tahu mengenai hal itu?

Dikala bibirku ingin kembali melontarkan pertanyaan mengenai Dakota, Elle menyuruh kami untuk segera pulang karena langit sudah mulai mendung.

Selama perjalanan aku banya menatap ke arah luar jendela. Berharap cemas Dakota tak mengetahui masalah Madison. Tapi tak mungkin hal itu terjadi. Dakota sibuk. Aku bahkan tak pernah menemukannya membaca gossip atau semacamnya.

Ketika sampai, aku berniat menjenguk Dakota. Elle menahanku, ia bilang Dakota membutuhkan istirahat dan tak boleh diganggu.

.

Jariku terus bergerak di atas layar ponsel, membaca mention para fansku. Selama beberapa jam terakhir kegiatan inilah yang ku lakukan. Angka digital di bagian atas layar ponselku sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Mataku masih terbuka amat lebar.

Aneh sekali. Setelah perjalanan yang amat melelahkan dari South Carolina, aku tidak merasa lelah. Kemungkinan besar karena aku disibukkan dengan pemikiran Dakota yang mungkin saat ini tengah terbaring lemah di atas kasur.

Tak baik memang menatap layar ponsel terus menerus di ruangan yang gelap. Aku harus mencari kegiatan lain. Mungkin menghubungi Dakota? Eh, dia kan sedang sakit. Bodoh sekali kau ini.

Aku bangkit dari kasurku dan berjalan menuju balkon. Sebetulnya kami memiliki dua balkon di apartement kami, yang satu di lantai bawah dan yang satunya lagi di kamarku. Namun aku lebih sering berada di balkon bawah karena aku pasti akan bertemu dengan Dakota di sana. Balkon di kamarku terlalu sepi. Jadi aku ke sana hanya untuk menenangkan diri.

Asap yang mengelul menyambutku ketika menggeser pintu. Bau tembakau menyerebak. Dahiku terlipat. Siapa pula yang merokok semalam ini?

Aku terkejut bukan main ketika aku menoleh ke arah kiri. Melihat Dakota tengah termenung dengan sebatang rokok yang terselip di jarinya dan segelas anggur yang digenggamnya. Tidak mungkin, Dakota tak pernah melakukan itu.

"Dakota! Apa-apaan kau!?" Bentakku sambil berjalan mendekati tembok pembatas. Aku tak peduli jika seseorang terganggu karena suaraku. Dakota menoleh.

"Kau mau?" Dakota menyodorkan gelas berisi anggur tersebut. Astaga, jangan bilang ia mabuk.

"Kau merusak kesehatanmu!" Dakota tertawa sumbang. Ia menyeringai kecil dan ikut berjalan mendekat ke pembatas.

"Memangnya kau siapa? Memberiku nasehat semacam itu?" Ia meneguk anggurnya. Ketika ia ingin menyesap rokoknya, aku langsung merebut lintingan itu dari tangannya. Kedua bola matanya berputar. Ia merogoh sesuatu dari kantongnya. Sebatang rokok lainnya dan korek api. Ia menyalakan rokok tepat di depanku. Aku mencoba menahan amarahku. Sumpah aku tak suka melihatnya seperti ini.

Dakota berdecak. "Kau bahkan tak bisa menjawabnya. Bagaimana di South Carolina? Menemukan pasangan baru, eh?" Tanyanya dengab nada sarkastik. Sontak tubuhku menegang mendengarnya. Jangan bilang ia mengetahuinya.

"Kau bersenang-senang di sana kan? Terutama bersama-- siapa itu namanya? Aku lupa padahal dia sahabatku. Eh, ralat. Dia adalah mantan sahabatku," ia sengaja menekankan kata 'mantan' dan menyeringai kecil. "Madison kalau tidak salah. Sialan, bagaimana aku bisa lupa dengan orang yang mengkhianatiku."

Aku tak berkutik. Semuanya sudah terungkap. Ia mengetahuinya dan aku tak bisa menghentikan itu.

"Aku yakin kau bersenang-senang dengannya. Terlihat sekali ketika kalian diwawancarai. Tapi bagaimana dengan kekasihmu, Dallas?" Salah satu alisnya terangkat. Menungguku memberikan respon.

Dakota menggeleng pelan. Menyesap kembali rokoknya. "Ku rasa ia adalah wanita terbodoh yang pernah ada. Kasihan sekali dia percaya dengan ucapan manismu. Aku yakin ia menganggap kau adalah lelaki yang selama ini ia cari. Lelaki yang setia kepada pasangannya. Namun lihatlah yang kau perbuat, kau menghancurkan hatinya.

"Apa benar kau dan kekasihmu itu sudah putus? Sepengetahuanku sih belum. Kau hebat, Cam. Bertindak sesuka hatimu tanpa memikirkan perasaan orang lain."

Dakota mengucapkan itu layaknya ia membicarakan orang lain, bukan dirinya sendiri. Secara tak langsung ia menyatakan kekecewaannya padaku. Dan aku tidak terlalu bodoh untuk menyadari hal itu.

"Sudah mau habis lagi," gerutu Dakota menatap gelasnya yang kosong. Ia membalikkan tubuhnya hendak masuk ke dalam apartement-nya.

"Dakota, tunggu!"

Dakota menghentikan langkahnya. "Apa?" tanyanya malas.

"Aku minta maaf," kataku penuh penyesalan.

Dakota mendengus kesal. "Hanya itu yang kau ingin katakan? Kau membuang waktuku."

Ia kembali melangkah masuk. Tidak, aku tak ingin ia terus salah sangka dengan masalah ini.

"Aku ingin menjelaskan semuanya. Apa yang kau-"

"Aku tidak perlu satupun penjelasan darimu."

"Tolong, dengarkanlah. Madison menjebakku. Ia ingin hubungan kita berakhir. Ia ingin mencelakaimu dan aku mencoba menghalaunya," untuk kedua kalinya ia menghentikan langkahnya. Dakota menatapku. Matanya berkaca-kaca. Oh Tuhan, aku membuatnya menangis.

"Lalu apa hubungannya denganku? Aku bukan kekasihmu lagi."

"Tidak, kau masih kekasihku, Dakota."

"Sudahlah, aku lelah. Aku tak peduli jika kalian sekarang sepasang kekasih. Semuanya sudah jelas, tak perlu lagi kau mencoba memperbaiki hubungan kita."

Falling | c.d ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang