Lembayung

73 20 5
                                    

2020,

Tiit, tiit, tiit..

Suara beker itu telah berdering sebanyak enam kali persepuluh menit pagi ini. Dan sebanyak enam kali pula Alex mematikan beker sialan yang menganggu tidur nyenyaknya, menganggu proyeknya membuat danau dibantal berwarna biru tosca yang empuk.

Pukul delapan lebih lima belas pagi, lebih dari cukup untuk mengatakan "kesiangan" pada seseorang yang masih mendengkur diatas bantal ketika orang lain sudah mulai beraktifitas, menyambut hari dengan penuh semangat.

Tiit, tiit, tiit..

Beker itu kembali melengking untuk yang ketujuh kali. Suaranya memenuhi langit-langit kamar. Alex mendengus mengkal, menyambar guling, menutup telinga sambil mengutuk. Berusaha mengabaikan beker yang seperti tahu Dia masih belum juga bangkit dari tidurnya.

Baiklah, kesabarannya mulai menguap. Alex melempar bantalnya kearah beker yang berbentuk bundar berwarna lembayung dimeja sebelah tempat tidurnya, bersungut-sungut. Apakah tak ada suara yang lebih lembut dari beker sialan itu?.

Masterpiece. Lemparan bantalnya tepat mengenai sasaran. Beker itu terpelanting membentur ubin, terburai. Dalam sekejap suara laungan beker yang memecahkan telinga itu lenyap untuk selamanya. Alex mengepalkan tinju, Yes. Jika kantuk tak menguasai boleh jadi dia akan loncat berselebrasi layaknya pemain basket yang berhasil mencetak tiga poin dari shooting jarak jauh.

Namun dua menit kemudian Alex segera menyesalinya. Saat seluruh nyawanya benar-benar terkumpul, Dia menyadari dua hal. Satu, Hei beker itu benar, Alex seharusnya sudah dalam perjalanan menuju kampusnya jam segini. 

Dua, beker itu pemberian Mama, oleh-oleh dari Belanda -katanya. Pasti Mama akan mengomel habis-habisan dengan kalimat kolotnya "Dasar anak gatau diri, ga pernah menghargai pemberian dari orang tuanya. Akan Mama coret kamu dari kartu keluarga!". Alex mengeluarkan puh pelan, imajinasinya terlalu berlebihan. Mama seorang Ibu yang baik dia takkan pernah berkata demikian padanya. Hanya saja, beker itu dilain waktu bisa menjadi pelepas rindu jika Dia ingat Mama nya. Tapi lihatlah sekarang beker itu sudah seperti bubuk gorengan.

Berbicara tentang Mama nya, sejak dua pekan lalu, orang tua Alex pergi keluar negeri.

"Papa, sama Mama Besok Mau ke London, ada pekerjaan besar disana" Ucap Papa sehari sebelum keberangkatannya. Mama tersenyum disebelahnya. Mereka sedang Makan malam dimeja makan.

Alex hanya terdiam, sibuk dengan gadgetnya, menggeser-geser timeline Instagram. Makanannya telah tandas.

Mama tersenyum teduh, jemarinya mengusap surai Alex yang hitam legam "Mungkin Kamu kesal sama Mama dan Papa karena sejak kecil Kami sering meninggalkanmu, pulang sebulan sekali, bahkan dalam hitungan tahun. Tapi tak pernah terpikirkan dalam benak mama bahwa kami tidak menyayangimu"

Alex berkelit, Apa sih. Ayolah, Usianya sudah 21, tak mau dibelai-belai rambutnya seperti anak kecil.

"Lalu dimana letak rasa sayangnya? Aku terlihat mandiri bukan berarti Aku benar-benar kuat menjalani kehidupan tanpa Papa dan Mama. Aku terpaksa harus membunuh kesedihan setiap kali Ia menghampiri. Bersedih hanya akan membuatku semakin lemah. Dan juga Aku tak ingin merepotkan Opa dan Oma yang merawatku" Alex mendengus kesal. Berusaha mengungkapkan isi hatinya. Ini percakapan untuk kesekian kalinya yang menyebalkan.

Mama menghembuskan napas pelan, menggenggam tangan Alex. "Nak, selama ini pekerjaan Mama dan Papa bukan untuk urusan pribadi. Ini tentang kemanusiaan, kami harus bekerja keras untuk membangun peradaban yang lebih maju. Dalam hati kecil, Mama juga ingin hidup seperti orang lain. Papa bekerja kantoran, berangkat pagi pulang sore, Mama jadi Ibu rumah tangga yang sibuk dengan urusan dapur dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Anaknya. Tapi pekerjaan kami sangat penting bagi orang banyak. Kami punya tanggung jawab yang besar pada mereka. Maka dari itu Kami harus dengan tega berbagi kasih sayang. Tapi kasih sayang Mama sama Papa kepadamu takkan berkurang, bahkan terus bertambah"

Im is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang