Halo, Tetangga

184 52 13
                                    

Aku tersedak minumanku.

"Siapa?" tanyaku serak setelah pulih dari batuk-batuk.

"Kak Juna." ulang Ana, mengambilkan tisu untukku, "Dia lumayan tenar di klub bulutangkis. Tapi kayaknya angkatan kita udah nggak banyak yang tau dia. Yang tau mukanya juga kayaknya nggak ada deh."

"Tapi serius, gue liat banyak banget piagam atas nama dia di rak piala..."

Aku nggak mendengarkan kelanjutan percakapan Ana dan Leni karena terlalu sibuk berkontemplasi.

Juna? Alumnus sini? Tetanggaku itu? Juna yang itu?

Mendadak aku teringat. Ibuku menyebut-nyebut Bu Ratna ketika sedang membicarakan Juna tempo hari. Lalu aku melongo sendiri.

Bu Ratna? Bu Ratna guru Geografi-ku itu?!

Aku nggak tahu ternyata ibu Juna adalah Bu Ratna sekolahku. Bu Ratna yang guru Geografi SMA Bakti. Juna juga kayaknya pernah bilang padaku kalau ibunya guru. Aku nggak tahu karena nggak pernah ketemu dengan beliau di daerah rumahku.

Jadi yang dia maksud adalah acara ini?

Setelah jam menunjukkan pukul delapan malam, aku langsung pamitan dengan Ana dan Leni untuk berkeliling lapangan, sementara aku bisa melihat satu persatu booth mulai dibereskan karena waktu promosi klub memang hanya sampai jam segini.

Mataku langsung sibuk berkelana.

Dan setelah lima belas menit mencari, aku menemukan sosok Juna. Akhirnya.

Iya, Juna yang itu.

Aku memperhatikannya sesaat dari kejauhan. Dia sedang duduk di bleachers kayu di tepi lapangan basket yang jauh dari keramaian, dekat meja-meja booth yang sudah hampir kosong sehabis dibereskan. Kedua sikunya bertumpu di lutut sementara dia mengawasi sekitar dengan tatapan bosan. Dia memakai kemeja putih dan celana hitam—bukan model pipa, tapi jatuhnya bagus banget di kaki-kakinya yang panjang—tanpa dasi, tanpa sepatu mencolok (hanya pantofel hitam sederhana). Atasan jas hitamnya dilepas dan disampirkan sembarangan di bahu. Kancing kerahnya dibuka satu dan lengan kemejanya digulung sampai siku.

Cowok itu sepertinya memang terlahir untuk menjadi keren. Gayanya nggak necis atau dashing seperti Devon. Tapi dia berhasil terlihat senantiasa keren. Keren yang effortless.

Setelah mengambil napas dalam-dalam untuk mempersiapkan kondisi jantung, aku berjalan ke arah Juna dan duduk di sebelahnya.

Dia nggak melihatku.

Aku berdeham-deham.

"Bosen nggak sih?" aku membuka suara.

"Banget." sahutnya nyaris detik itu juga.

Aku nyengir senang karena dugaanku benar. Juna masih belum menoleh padaku, dia malah sibuk meneguk sodanya dari gelas plastik.

Keinginanku untuk sok bersikap misterius runtuh sudah.

"Nungguin ibu kamu, ya?"

Juna—akhirnya!—menoleh padaku, dan aku berusaha untuk tetap terlihat cool.

Lalu cowok itu bertanya.

"Kamu siapa?"

Aku melongo syok.

Oke, gue ladenin!

"Aku Scarlett Johansson." kataku asal.

"Kok nggak pirang?" cowok itu mengangkat alis.

"Emang harus banget pirang?" lanjutku.

Cowok itu nyaris gagal menahan senyum.

"Di film-film kan pirang."

Sweet Neighbor JunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang