Pesta Penyambutan

178 49 14
                                    

Mari kita percepat ke malam acara penyambutan.

Tahu-tahu aku sudah dipaksa dandan sama ibuku dan dipakaikan dress sederhana warna biru malam yang membuatku takjub karena ternyata lumayan chic dan seleraku banget—mengingat umur Mama yang bisa dibilang udah nggak muda, seleranya ternyata bagus!—terus Devon tahu-tahu sudah muncul di depan pintu rumahku pukul enam sore dengan mobilnya.

Kalau boleh jujur, Devon kelihatan super ganteng dalam balutan setelan jas biru—dia memang berniat kembaran denganku—yang membuat aura bule-nya entah gimana semakin menguar.

Ketika melihatku membuka pintu, bukannya ge-er atau apa, Devon kelihatan agak terpana. Dan dia yang biasanya langsung nyerocos dengan tingkah congkaknya, kali ini cuma berkata, "You look gorgeous."

Aku mau nggak mau tersenyum.

"Makasih."

Kamipun berpamitan dengan Mama, yang bersikeras mengambil foto kami berdua dengan mata berkaca-kaca. Setelah itu Devon membukakan pintu mobilnya untukku dan kami pun berangkat.

Ketika mobil Devon berjalan melewati rumah Juna, pandanganku otomatis mengarah ke sana. Terasnya kosong.

Bodo amat. Bodo amat!

"June?"

Hening.

"June? Hey."

"Ya? Udah sampe?" sahutku spontan. Devon tertawa.

"Kita baru berangkat kok. Aku manggil kamu soalnya dari tadi kamu bengong terus. Something wrong?"

Aku memerhatikannya sejenak. Devon memang kelihatan berbeda. Bukan soal penampilannya, memang sih aku benci mengakuinya tapi—seperti yang kubilang tadi—dia ganteng banget dengan setelan jas biru dan dasi hitam kecilnya yang membuatnya tampak necis sekaligus gaya, serta rambut cokelatnya yang sengaja ditata unruly. Tapi caranya menatapku, cara bicaranya, gayanya... menurutku agak... tidak biasa. Dia berbeda dibandingkan ketika di kelas. Dia keliatan... kalem.

"Nervous ya?" ceplosku. Devon terlonjak sedikit.

"Sorry?"

"Gue pikir Devon Si Bule udah biasa dateng ke acara-acara kayak gini."

"Bukan... bukan soal acaranya, sih." katanya tersenyum ganjil.

"Terus kenapa?"

Devon menatapku sejenak.

"No. Nothing."

Kalau aku tipe cewek yang rasa percaya dirinya setinggi Monas, mungkin aku akan bertanya "Lo nervous ya, ngeliat gue yang jadi cantik gini?"

Tapi tentu saja aku hanya cewek yang rasa percaya dirinya setinggi kolam bebek. Jadi pertanyaan itu nggak pernah terlontar.

Setelah menempuh perjalanan dalam obrolan yang canggung dan pendek-pendek, aku lega bukan main ketika akhirnya kami tiba di tempat parkir sekolah yang letaknya berada di antara gedung utama dan gimnasium. Spanduk bertuliskan 'SELAMAT BERGABUNG DI SMA BAKTI, ANGKATAN 2010!' dipajang di dekat pintu masuk ke area pesta. 

Jika semula kupikir pestanya bakal diadakan di dalam gimnasium, salah besar. Lapangan basket dan sekitarnya malam itu keliatan begitu gemerlap dengan lampu kelap-kelip dan beragam dekorasi manis. Outdoor party. Konsepnya keren juga. Kalau ada orang luar yang kebetulan melintas di dekat sekolah, bisa-bisa kami dikira sedang membuka pameran lampu hias.

Di bawah tenda-tenda putih yang didirikan di lapangan, tertata meja-meja panjang dari laboratorium yang dilapisi taplak putih dan dialihfungsikan menjadi meja untuk menghidangkan makanan dan minuman. Podium tempat kepala sekolah biasanya memberikan wejangan saat upacara hari Senin disulap menjadi semacam panggung mini tempat DJ—tentu saja DJ proper pilihan KepSek, bukan DJ ala klub-klub malam yang lagunya ajeb-ajeb itu—memutarkan lagu-lagu yang at least nggak membuat telinga sakit.

Sweet Neighbor JunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang