Kadang, aku suka refleks menilai suatu peristiwa dengan kacamataku sendiri.
Melihat seorang lelaki tua berpakaian lusuh, yang sedang mengantar anaknya sekolah dengan berjalan kaki; hatiku refleks mengasihani.
Giliran Alphard biru lewat melintas di depan kedua bola mataku, aku refleks membatin, “Kapan ya punya mobil kayak gitu?”
Yang tanpa sadar, aku mengasihani diri.
Iya, refleks.
Dan, ah, kalau sudah keluar refleks seperti itu, rasanya ingin sekali aku menjewer telinga sendiri, lalu berbisik tajam,
“Dikemanakan ayat-ayat Alquran yang sudah kauhafal, hey?!”
Andai ayat-ayat itu sepenuhnya telah meresap ke dalam hati, seharusnya aku tak lagi menilai peristiwa manusia dengan kacamata ego.
Maksudku, bukankah Alquran sudah mengabarkan, tentang kisah kita di muka bumi yang sudah Allah jamin masing-masing perutnya?
Bahwa sifat Maha Pengasih-Nya itu absolute teruntuk seluruh makhluk semesta. Dari burung-burung yang mengudara terbang, hingga hewan melata di dalamnya lubang.
Pula tak membeda-bedakan manusia yang tinggal di rumah gedongan atau yang hidup di kolong jembatan.
Sebab setiap kita sama-sama dilimpahi karunia yang tak ternilai harganya :
Rasa bahagia saat bertemu orang yang dicinta, nikmatnya melepas dahaga dengan seteguk telaga, ada oksigen yang menghidupkan, air hujan yang menumbuhkan, langit biru yang menenangkan, hingga kicauan burung yang mendamaikan.
Sebagaimana kisahnya Julaibib, seorang sahabat Rasul ﷺ yang keberadannya paling tidak menonjol di antara sahabat-sahabat yang lain, berperawakan sangat biasa sekali, bahkan memiliki paras yang cenderung kurang menarik dengan tubuh ringkihnya, yang punya kebiasaan merapikan sandal-sandal di teras masjid.
Tetapi, tak ada yang menyangka ketika seorang Julaibib dikaruniai seorang istri jelita nan shalihah dari kaum Anshar.
Menurutmu, siapa lagi yang menggerakkan hati wanita shalihah itu kalau bukan kehendak Allah Yang Maha Pengasih?
Dan, belakangan, baru kusadari, ternyata caraku mengasihani dan berdecak kagum kepada peristiwa manusia; sering salah sasaran.
Begitu banyak sosok lelaki tua di bumi ini yang tinggal di gubuk sederhana, makan dengan lauk seada, tapi ternyata mereka merasa cukup dan sangat baik-baik saja. Tak seperti yang aku duga.
Mereka tetap tersenyum, bermain-main dengan keluarga kecilnya, bahkan dengan ringan membantu sesama.
Aku jadi malu dengan diriku sendiri, yang sepertinya jauh lebih layak dikasihani karena tak pandai mengelola syukur. Padahal, makan tak pernah kurang. Pendidikan jauh lebih punya peluang.
Mungkin, selama ini, aku-nya saja yang terlalu sibuk memprasangkai kehidupan manusia. Sampai lupa bahwa selalu ada Allah yang menjamin segala urusan masing-masing kita.
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Dan Allah memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
{QS. Ath-Thalaq : 3}