Apa benar, mendikte sebuah penantian itu perlu?
Menanti ini dan itu. Menunggu sehari, sebulan, setahun, berlalu. Bahkan hingga waktu yang tak tentu.
Apa benar, mendikte sebuah penantian itu perlu?
Maksudku, bukankah manusia memang selalu suka menunggu-nunggu, bahkan di saat Sang yang dinanti telah hadir di sisi sejak hari lalu?
"Kapan ya aku bisa begitu?"
Saat sudah bisa 'begitu', manusia kembali berseru,
"Kapan ya aku bisa begitu?"
Untuk 'begitu' yang baru.Jangan-jangan, bukan karena penantian-nya yang perlu digugu, malainkan, karena hati kita yang belum bisa memasrahkan sepenuhnya pada Dzat Yang Maha Tahu.
Padahal...
"Apa yang melewatkanku, tidak akan pernah menjadi takdirku..." Seru Umar bin Khattab suatu waktu. ".... dan apa yang ditakdirkan untukku, tidak akan pernah melewatkanku."
Memang. Selalu ada harap yang ingin dituju. Ada khawatir yang kadang tak menentu. Tetapi, jangan makin diperlelah dengan makna menunggu-nunggu itu; berharap lebih pada hal yang belum kita tahu, lalu khawatir pada perkara yang sebenarnya masih rancu.
Percayalah, ada banyak hal yang bisa kita bahagiai di setiap waktu. Seperti, telah dipertemukannya kita dengan teman-teman satu suhu. Atau, sesederhana menemukan lipatan uang lima ribuan di dalam saku.
Ya, kan? jangan lupakan itu.
Biarlah angan menjadi angin lalu. Dan terus ikhtiarkan apa yang ada di hadapanmu, semampumu.
Lalu bersabar, sembari melaju.Sebab, antara bersabar dan menunggu-nunggu bukan hal yang padu. Walau memang, nampak seperti satu.
Jadi, hati-hati, ya. Jangan keliru :)