Ponsel Muya berdering ketika ia berdiri di tepi jalan, menunggu ojek online yang sudah dipesan beberapa saat lalu. Muya panik melihat nama si penelepon. Perempuan paruh baya yang akrab dengannya akhir-akhir ini. Namanya Narti, asisten rumah tangga Bu Rahayu. Muya cepat-cepat mengangkatnya.
"Halo, Bi. Ibuk nyari aku, ya? Ibuk sudah sarapan belum? Maaf, aku kesiangan. Aku khawatir Ibuk telat makan."
"Ndak, Mbak. Saya cuma mau memastikan Mbak Muya baik-baik aja, soalnya sampai jam segini kok belum pulang. Kalau soal sarapan, sih, biasanya juga saya yang siapin, Mbak. Kan enam bulan terakhir ini Mbak Muya ke sininya ndak tentu. Kadang dua hari sekali, kadang tiga hari sekali. Ah, pengantin baru pura-pura lupa," kata Bi Narti di seberang sambungan. Disusul tawa mengikik.
"Ndak, kok, Bi. Muya ke situ setiap pagi."
"Mbak Muya jangan bercanda, ah. Sudah, ya. Bibi banyak kerjaan."
Bi Narti mematikan telepon. Padahal Muya ingin bertanya, Zaky sudah di rumah apa belum. Apa yang akan terjadi jika nanti mereka bertemu? Tatapan tajam pria itu masih membekas jelas di ingatan Muya. Gamang untuk pulang, Muya memutuskan meng-cancel ojek online pesanannya. Langkahnya gontai menuju taman di seberang jalan.
Ingatan masa lalu berkelebat. Dulu, ayahnya yang berdarah Timur Tengah sering mengajaknya ke taman belakang rumah untuk mengaji bersama. Sang ibu membawakan minuman dingin dengan nampan bermotif anggur. Mereka sangat kompak mendidik Muya hingga gadis itu mampu membaca Al-Qur'an dengan sangat baik.Saat di Madrasah Tsanawiyah, Muya pernah memenangkan lomba hafizh tingkat provinsi. Orang tuanya berencana akan mengirim Muya ke Mesir begitu lulus Aliyah nanti. Namun, segalanya terjadi di luar dugaan. Sang ayah terkena serangan jantung dan meninggal saat itu juga. Setelah itu, sang ibu mengalami gangguan mental dan dirawat oleh Bibi Muya di Yogya. Sebulan kemudian, ibunya meninggal karena menenggak racun tikus. Sejak saat itu Muya tinggal sebatang kara. Ia gagal melanjutkan pendidikan ke Mesir. Untungnya, warisan orangtua Muya cukup untuk membiayai hidupnya hingga kini. Itulah sekelumit kisah yang Muya ingat tentang keluarganya.
Setahun lalu, ia mengenal Bu Rahayu saat sedang menunggu dokter di rumah sakit. Bu Rahayu yang ramah banyak bercerita. Muya yang kalem mendengar dengan saksama. Merasa cocok, keduanya pun semakin dekat. Hampir setiap hari Muya berkunjung ke rumah Bu Rahayu. Wanita penderita diabetes itu sangat senang dengan perhatian Muya. Kasih sayang yang didamba dari anak lelakinya, justru dipenuhi oleh Muya.
"Anak laki-laki, ya, emang gitu. Ibunya sakit bukannya disayang-sayang. Kerja terus yang dipikir. Apa ndak nyesel semisal terjadi apa-apa sama ibunya?" gerutu Bu Rahayu setiap kali bercengkerama dengan Muya.
Saking dekatnya dengan Muya, Bu Rahayu menjodohkan Zaky dengan gadis itu. Gayung bersambut. Pembawaan Muya yang lemah lembut, membuat Zaky terpikat. Selain itu, Muya memiliki wajah khas blasteran yang membuatnya istimewa. Pernikahan dilangsungkan tiga bulan kemudian.
Lalat yang hinggap di hidung mancungnya, menyadarkan Muya dari lamunan. Tatapannya kini terpancang ke gerombolan merpati yang berebut pakan di pagupon. Sering Muya merasa hari-hari yang dijalani seperti sebuah mimpi. Seperti keberadaannya semu belaka.
"Bi Narti bilang aku datang dua-tiga hari sekali. Padahal aku datang setiap hari. Apakah Bi Narti sedang menunjukkan kalau dia rajin dan memungkiri fakta? Atau aku yang lupa? Tidak. Aku masih rajin minum obat dan tidak mengalami hal aneh selama setahun ini," gumam Muya.
Wajah Zaky yang penuh amarah tiba-tiba melintas di benaknya. Muya teringat sesuatu. Segera membuka ponsel. Menggeser layarnya beberapa kali. Senyum Muya rekah ketika menemukan sebuah nama di daftar kontaknya. Ia langsung menghubungi orang itu.
"Halo, Dokter Alya. Ini aku, Muya," sapa Muya begitu teleponnya diterima.
"Hai, Muya. Bagaimana kabarmu?"
"Aku ingin bertanya tentang sesuatu yang penting padamu, Dok. Tapi, tidak enak kalau di telepon."
"Ok. Aku di rumah sekarang. Kau bisa datang ke mari."
"Iya, Dok. Aku akan sampai dalam sepuluh menit."
***
Dokter Alya sedang menikmati secangkir kopi saat Muya muncul di halaman rumahnya. Wanita berkacamata itu langsung memanggil pembantu untuk menyiapkan kopi lagi, beserta setoples biskuit kegemaran Muya. Dokter Alya menyambut gadis itu dengan pelukan hangat. Seperti saudara perempuannya, Dokter Alya tahu harus membuat Muya merasa nyaman.
Dengan enggan Muya menduduki sofa putih di samping Dokter Alya. Mereka kemudian berbasa-basi membahas panasnya cuaca, hingga Dokter Alya memulai.
"Ceritakan apa masalahmu, Sayang."
"Mas Zaky mengatakan aku tidak lagi suci, Dok," lirih Muya. Matanya mulai berkaca-kaca.
Dokter Alya yang sudah lama mengenal keluarga Muya, terdiam sejenak. Menghadapi gadis itu tak pernah semudah pasien lain. Ia pun memutuskan menjawab sesuai bidangnya. Tidak merembet ke kondisi lain Muya.
"Aku tidak tahu apa alasan Zaky menyimpulkan seperti itu. Mungkin dia menilai dari ada atau tidaknya bercak darah. Sementara tidak semua wanita mengeluarkan darah saat hubungan badan pertama kali. Itu tergantung tebal tipisnya selaput dara. Ada yang sekali langsung pecah, ada yang sampai lima kali baru pecah.
Pecahnya selaput dara juga tidak selalu akibat berhubungan badan. Bisa karena olahraga seperti bersepeda, berkuda, jatuh dalam posisi duduk dan lain-lain. Selaput yang pecah karena aktifitas yang kusebut tidak menyebabkan vagina rusak. Maksudnya, keperawanan itu bisa dilihat dari sulit atau tidaknya penetrasi. Apa kau merasa sakit saat penetrasi?"
Muya terdiam. Ia memicingkan mata. Berusaha mengingat. Dalam mata itu, Dokter Alya menemukan kekosongan yang nyata.
Wanita berbibir tipis itu terusik. "Muya, apa hubunganmu dengan Laksmi baik-baik saja? Kau masih minum obat?" Pertanyaan itu lolos begitu saja.
Muya langsung mengangkat wajah. Ia menatap tajam Dokter Alya. "Maksudmu ini ulah Laksmi? Aku masih rutin minum obat dari Dokter Deya dan melakukan meditasi setiap malam. Laksmi sudah lenyap satu tahun lalu. Lagipula, dia sudah berjanji tidak akan menyembunyikan apa pun dariku. Aku sudah melarangnya melakukan hal yang bukan-bukan."
"Ok. Aku juga yakin begitu. Dia cukup bisa diandalkan. Seniman berbakat dan memiliki karakter yang kuat. Begitulah yang dikatakan Kak Deya."
"Tolong, jangan bicarakan Laksmi lagi. Dia sudah lenyap. Aku sangat takut dia akan muncul lagi. Sudah cukup aku berbagi tubuh, harta, dan waktu dengannya," ucap Muya dengan gusar.
"Maaf. Aku tahu sangat riskan untukmu membahas ini. Ayo, minum dulu kopinya. Keburu dingin." Dokter Alya menyodorkan gelas di hadapannya pada Muya.
Gadis itu menerima dan menyeruput pelan. Tangannya gemetar. Bayangan Laksmi yang liar kembali menghantui.
"Tenanglah, Muya. Semuanya akan baik-baik saja. Tahun awal pernikahan adalah masa-masa yang sulit. Apalagi pernikahanmu belum genap satu minggu. Wajar terjadi kesalahpahaman ini itu." Dokter Alya mengalihkan topik. Penyesalan berkilat di matanya. Tubuh Muya bergetar setelah mendengar lagi nama Laksmi. Gejala yang sudah ia hafal.
Dulu, Dokter Alya salah mendiagnosis penyakit Muya. Dikiranya maag biasa. Namun, pengobatan selama berbulan-bulan yang dilakukan tidak menunjukkan perbaikan. Dokter Alya pun mengenalkan Muya dengan kakaknya, seorang psikiater. Setelah dilakukan serangkaian tes jelaslah kalau Muya mengalami gangguan mental langka.
Dokter Alya tidak bisa menyampaikan itu pada Zaky karena kabar pernikahan sampai di telinganya tiga hari sebelum akad nikah. Tidak mungkin ia merusak acara yang sudah matang. Bisa-bisa dituduh yang bukan-bukan. Meski Muya sudah seperti saudaranya sendiri, tetap saja, ia tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan pribadi Muya. Juga bukan bidangnya menjelaskan kondisi mental gadis itu.
Setelah tenang, Muya pamit pulang. Dokter Alya melepasnya dengan pelukan hangat, seperti ketika tadi gadis itu datang. Sampai Muya menaiki taxi, Dokter Alya masih mengawasinya.
"Seandainya Zaky tahu soal Laksmi. Kompromi-kompromi akan mudah dilakukan. Apalagi Laksmi bukan sosok yang jahat," gumam Dokter Alya sembari membenarkan kacamatanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PERAWAN PALSU (Sudah Terbit BEST SELLER)
Fiksi UmumNovel ini sudah terbit dan meraih Best Seller di penerbit Biru Magenta. Blurb Muyasara Kahila dituduh tidak suci di malam pengantinnya, padahal dia tidak pernah melakukan hubungan badan sebelumnya. Lalu apakah yang sebenarnya terjadi?