KAMU PULANG, SAYANG
Oleh: Iim WiyaniTanganmu mengusap air mata yang mengalir di pipiku dengan lembut. Namun, sesak yang kurasa tak juga mereda. Justru semakin menyiksa. Banyak kata yang ingin kuucap, tetapi semua seperti tersekat di tenggorokan.
Kamu membawa tubuhku ke dalam dekapan. Memberikan ketenangan yang perlahan mulai datang.
"Abang janji akan pulang." Itu janji yang keluar dari bibirmu.
"Kapan?" Aku mengejar jawaban yang enggan kamu beri.
Kamu menghela napas. Panjang dan berat. Ini bukan hanya tentang kesedihan, tetapi juga sebuah tanggung jawab. Posisimu sama-sama berat. Aku paham dan coba terus mengerti.
Kamu bukan orang yang suka mengumbar janji, apalagi sebuah omong kosong. Pantang pula bagimu untuk berbohong. Biarpun sekadar untuk memberikan ketenangan semu bagiku.
"Nanti. Kalau sudah saatnya."
Kamu melepas pelukan kita. Mengusap kembali wajahku yang basah. Mengecup lembut keningku, turun pada mata yang membengkak, pipi yang lembab, juga bibirku yang bergetar.
Lalu, saat kamu mengangkat wajah, aku melihat matamu yang memerah. Bertelaga dan terlihat pasrah. Kesedihan ini bukan hanya milikku. Aku tahu pasti berat juga bagimu.
Kamu menurunkan tubuh. Menyejajarkan wajah pada perutku yang tidak lagi rata. Pertanda ada buah cinta kita yang bertumbuh di sana. Kamu sapa dia dengan usapan lembut yang penuh kasih sayang. Dia membalasnya dengan gerakan. Kamu tersenyum dan mengangkat wajah. Menatapku dengan binar bahagia.
Kamu kecup dia yang berlindung di balik perutku. Berkali-kali hingga aku merasa ada basah yang mengenai baju. Ya, kamu menangis. Untuk sebuah perpisahan sebelum pertemuan.
"Bantu jaga Bunda untuk Ayah, ya, Nak?" pintamu lembut.
Dia membalas dengan gerakan lagi. Mantap dan lebih keras dari sebelumnya. Seolah-olah dia tahu kalau ada hati yang perlu ditenangkan.
Kamu kembali berdiri. Meraup wajahku dengan kedua tanganmu yang besar. Melabuhkan ciuman panjang di kening. Senandung cinta kita untuk sementara terjeda. Menunggu kapal kembali berlabuh ke dermaga.
****
Rasa sakit ini sungguh tak terperikan. Ingin aku menjerit. Namun, aku tahan sebisa mungkin. Aku kembali teringat pesanmu. Di balik sakit itu ada dosa-dosa yang berguguran. Maka, jangan pernah sekali pun keluar keluhan dari bibir.
Aku menguatkan diri. Menahan segala rasa yang hadir. Bukan hanya kuatnya kontraksi yang datang dan pergi. Namun, juga rintihan hati kala tanganku hanya bisa menggenggam udara kosong.
Membuka mata pun tak lebih baik. Hanya tatapan iba yang kudapat. Kupilih untuk memejamkan mata. Lalu keajaiban terjadi, aku bisa melihat wajahmu. Wajah dengan rahang tegas. Mata hitam yang bersinar tajam, tetapi terasa teduh dan menenangkan. Semua detail wajahmu seakan terlukis dalam kanvas bernama angan-angan.
Senyummu seperti sebuah kekuatan untukku. Aku membuka mata dan menarik napas panjang, kemudian mengeluarkannya sambil mengejan. Hingga tangis itu terdengar. Air mataku merebak.
"Selamat, Bu. Bayinya laki-laki, sehat, dengan berat badan lahir 3.200 gram dan panjang 50 sentimeter."
Aku mengucapkan alhamdulillah, dan segera kuingat kamu. Pasti kamu akan bahagia. Jagoan, persis seperti yang selalu kamu minta dalam doa. Bukan apa-apa, kamu hanya merasa kalau anak laki-laki bisa menjaga bundanya bila kamu sedang tidak bersama.
Wajahnya mirip kamu, Sayang. Alis, mata, hidung, bahkan bibirnya. Aku serasa melihat dirimu dalam bentuk minimalis. Pasti kamu akan bangga kalau bisa melihatnya secara langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Album tentang Cinta
Short StoryCerpen dengan beragam kisah, yang terinspirasi dari berbagai hal di sekitar kita. Baca, nikmati, dan ambil hikmahnya.