Jangan Berhenti Berusaha (Kesempatan)

818 96 6
                                    

Aku membaca lembaran kertas itu dengan putus asa. Tanpa sadar, aku mendesah lelah. Dari sekian banyak baris dan kolom yang ada, ada satu baris yang belum terisi apa pun. Kosong dari kolom pertama sampai terakhir.

Aku menoleh saat merasakan senggolan di lengan. Rania sedang menatap dengan wajah mengisyaratkan tanya. Tanpa kata, kuserahkan kertas itu padanya.

"Oh, jadi yang bikin mukamu kayak menanggung beban seluruh dunia itu karena Reza. Udahlah, nggak perlu terlalu dipikirin. Bulan lalu, presensi dia waktu salat Zuhur juga nihil, kok," komentar Rania setelah mengamati lembar presensi itu beberapa saat.

Jujur saja, hal ini cukup meresahkan. Aku memang belum pernah sekelas dengan Reza sebelumnya. Juga tak begitu mengenal pribadinya. Namun, sebagai seksi agama di kelas, aku merasa terusik dengan absennya Reza dalam pelaksanaan salat Zuhur setiap harinya.

Sekolah kami ini memang merupakan sekolah umum, tapi mempunyai atensi cukup serius dalam bidang akhlak dan ibadah para warganya. Semua guru dan siswa yang beragama Islam diwajibkan untuk melaksanakan salat Zuhur di masjid sekolah. Apalagi pelaksanaan salat Zuhur bersamaan dengan waktu istirahat kedua, jadi seharusnya tak ada alasan untuk mangkir.

"Raihan sudah tahu juga, kok," imbuh Rania menyebut nama seksi agama lainnya dalam kelas kami.

Ini juga yang cukup mengherankan. Kenapa Raihan tidak melakukan tindakan apa pun? Sekadar menegur Reza mungkin. Tugas kami sebagai seksi agama harusnya bukan hanya bertugas mengisi lembar presensi kemudian mengumpulkannya pada guru agama, tapi juga mencari solusi bila ada salah satu teman yang bermasalah. Seperti kasus Reza ini contohnya.

Aku menoleh ke arah kursi Raihan. Siswa yang selalu mendapat juara kelas itu terlihat sedang membaca buku. Perlahan, kuberanjak dari duduk dan menghampiri mejanya. Dia menoleh saat aku sudah berdiri di dekatnya.

"Kenapa, Nisa?" Dia bertanya lebih dulu sebelum aku sempat menyapa.

Tanganku menyerahkan lembar presensi padanya. "Reza nggak pernah melaksanakan salat Zuhur. Kamu sudah pernah tegur dia?"

Raihan tidak kaget mendengar pertanyaanku. Dia mengamati lembaran kertas yang kini berada di tangannya itu selama beberapa saat.

"Udah. Anak itu susah diberi nasihat. Kamu kumpulin aja ini ke Pak Azis sekarang. Mumpung masih jam istirahat," jawab Raihan yang terdengar enteng di telingaku.

Aku mengartikan kalau Raihan sudah pernah menegur Reza namun sepertinya diabaikan. Dengan rasa kecewa, aku kembali ke tempat duduk.

"Ran, aku mau kumpulin laporan ini ke Pak Azis. Temani, yuk?" ajakku pada Rania.

Teman semejaku itu mengiyakan dan langsung berdiri. Kami berdua berjalan ke arah ruang guru yang letaknya tidak begitu jauh dari kelas. Koridor dan halaman sekolah tampak ramai karena waktu istirahat masih tersisa sekitar lima belas menit lagi.

Saat hampir mencapai pintu ruang guru, tiba-tiba suatu pemikiran terlintas di benakku. Aku menghentikan langkah yang segera diikuti oleh Rania juga.

"Kenapa, Nis?" tanya Rania heran.

Aku menatapnya serius. "Kamu tahu di mana biasanya Reza saat jam istirahat begini?"

"Kantin, kali." Rania menjawab tidak pasti.

"Aku mau samperin dia. Mau tanya kenapa dia absen salat Zuhur terus."

"Ih, ngapain, sih, Nis? Nggak usah mempersulit diri sendiri, deh." Rania jelas terlihat tidak setuju dengan ideku.

Namun aku tak bisa mundur dan harus mencobanya biarpun hanya sekali. Setidaknya hati akan lega karena tidak hanya berdiam diri saja.

Kutarik tangan Rania menuju kantin sekolah. Dia sempat protes tapi akhirnya hanya bisa pasrah.

Album tentang CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang