"Caca!"
Aku tersentak kaget. Pulpen di tanganku sampai terlempar. Aku bisa mendengar tawa tertahan di sekitarku.
"I ... iya?" Aku tergagap bingung.
Siswa yang sedang berdiri di depan ruang rapat ini sedang menatapku tajam. Tatapan yang membuat nyaliku ciut. Sungguh, melihat mata hitam itu dalam keadaan biasa aja sering membuatku takut. Apalagi sekarang, mata dingin ditambah dengan amarah.
"Kalau mau melamun, sana di luar!" Tajam dan sadis ucapan Rendra membuatku menunduk. Malu, itu yang aku rasakan. Tapi salahku juga, sih, melamun di saat rapat. Apalagi saat ini sedang ada pembicaraan serius tentang acara perpisahan sekolah.
Teguran dari sang ketua membuatku benar-benar serius mengikuti rapat sampai selesai. Aku tidak mau ditegur untuk kedua kalinya. Rendra ini memang termasuk cowok pendiam, tapi di lain kesempatan juga bisa sangat sadis. Kata-katanya jauh lebih tajam daripada silet.
"Lo sih pakai acara ngelamun segala!" Daisy berkomentar sambil tersenyum mengejek padaku. Saat ini kami sedang berjalan ke parkiran setelah selesai mengikuti rapat.
"Ya, mana gue tahu kalau Rendra perhatiin gue. Gue kira masih pada sibuk bahas bintang tamu yang mau diundang." Tentu saja aku membela diri. Lagian bagianku cuma jadi seksi konsumsi. Aku nggak perlu tahu siapa saja yang akan mengisi acara nanti.
"Jangan mentang-mentang patah hati terus jadi nggak profesional gitu." Ucapan Daisy malah ngajak perang.
"Hei, siapa bilang gue patah hati? Si monyet itu kali yang gue putusin!" Aku tentu saja nggak terima dibilang patah hati. Apalagi cuma gara-gara si cowok playboy cap tikus itu. Ogah banget! Daisy malah ngakak mendengar jawabanku yang ngegas.
Aku tidak peduli lagi dengan apa yang dikatakan oleh Daisy. Aku terlalu malas untuk membahas tentang dia yang namanya tak ingin kusebut. Mending aku ngecek akun media sosialku.
"Loh, hape gue mana, ya?" Aku mulai panik saat tak menemukan ponselku di saku rok.
"Hape lo sendiri kok malah tanya sama gue. Ketinggalan mungkin di ruang OSIS. Sana lo cek, moga aja ketemu. Gue tunggu di parkiran."
Aku langsung berlari kembali ke ruang rapat tadi. Dalam hati aku berdoa agar ponselku tidak hilang. Aku belum lama beli ponsel itu setelah ponselku yang sebelumnya mengalami kecelakaan. Terjatuh dari balkon kamarku di lantai dua yang kemudian mendarat di halaman rumah dengan kondisi tewas.
Aku sampai di depan ruang OSIS dengan nafas yang masih memburu. Pintunya masih terbuka, kemungkinan masih ada orang di dalam. Kubuka lebar pintu dan aku langsung masuk.
Rendra yang tampak masih sibuk dengan laptop mendongak mendengar keadatanganku.
"Hape gue ketinggalan, nggak?" Aku langsung bertanya padanya, masih dengan sedikit panik.
"Hape siapa?"
"Hape gue."
"Hape lo yang ketinggalan, kenapa lo malah tanya sama gue?"
Astaghfirullah, ini orang kalem tapi suka bikin orang emosi ya? Aku mencebik kesal dan langsung berjalan ke kursi tempatku duduk tadi. Tapi nihil. Tidak ada ponselku. Aku langsung lunglai. Bakal kena marah sama mama nih.
"Ini hape lo?"
Aku langsung menoleh ke arah Rendra yang bersuara. Cowok itu mengangkat sebuah ponsel dengan tangan kanannya. Ponselku! Aku langsung menarik nafas lega.
"Iya. Alhamdulillah, gue kira hilang."
Aku mengambil ponselku dari tangan Rendra dengan semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Album tentang Cinta
Historia CortaCerpen dengan beragam kisah, yang terinspirasi dari berbagai hal di sekitar kita. Baca, nikmati, dan ambil hikmahnya.