part 4

0 0 0
                                    

"Nuri ... kamu ikut saya," ucap Mba Santi padaku. Ia tampak berjalan menuju ke arah gudang.

Aku pun mengikuti langkahnya menuju ke gudang material. Mba Santi berhenti di sebelah rak-rak penyimpanan material produksi.

"Sekarang kamu di bagian distribusi komponen, ya. Ini list barang-barang yang harus kamu distribusikan sekarang," ucapnya sembari menyerahkan list material.

"Iya, Mba." Aku pun pasrah mendengar keputusan leader tersebut untuk memindahkannya ke bagian gudang. Aku tau pasti karena sering bikin rijek produksi, pikirku lagi.

''Hhhh ....' desahku dalam hati. Mataku melihat ke sekeliling gudang, tampak rak-rak material tinggi serta kardus-kardus didalamnya. Sangat seram jika dilihat dari bawah.

Mba Santi pun mengajarkanku cara distribusi berikut kode-kode material apa saja yang akan aku distribusikan itu.
Setelah selesai, dia pun pergi menuju ruang produksi untuk meninjau karyawan lainnya.

Aku pun mulai menyusuri setiap section di ruang produksi untuk melihat material yang kosong atau hampir habis.
Kemudian mengambil di gudang. Ternyata cukup ribet di awalnya, karena aku harus cepat-cepat jika ada material yang telah habis dan harus berkutat mencari dulu tempatnya dibrak gudang.

''Hhhh ... semangat Nuri, ini menjelang terbiasa kok,' batinku.

Setelah selesai menyalurkan material aku pun menuju gudang lagi untuk membereskan rak swta membersihkan kotak-kotak yang berserakan karena tadi aku buru-buru mengambilnya.

Tampak Mba Santi dan beberapa leader tengah berbincang-bincang dengan mas Juna selaku supervisor produksi. Mereka sangat serius berdiskusi tentang sesuatu yang tak ku ketahui. Karena memang aku tak mendengar.

Prang ....
Tiba-tiba sebuah kotak berisi material jatuh tatkala akan ku letakkan di rak.
Sontak membuat mereka melirik ke arahku.

Cepat-cepat kubereskan komponen-komponen yang berserakan itu, lalu memasukkan lagi ke dalam kotak.

"Apa lagi itu, Nuri? Kamu masih juga ceroboh," ujar Mba Santi dari kejauhan.

Kulihat sekilas mas Juna menatapku nanar di kejauhan. Seperti sedang menatapku heran.

"Maaf, Mba. Aku tak sengaja, tadi mau jatuh ke dalam rak," ucapku merasa bersalah. Lagi-lagi aku berbuat hal yang menarik perhatian mas Juna. Entah kenapa selalu ada saja perbuatanku yang membuat gaduh, membuat mas Juna jadi menatapku seperti itu.

Bel tanda istirahat siang pun berbunyi. Aku segera menuju kantin di lantai bawah dan antri untuk mendapatkan jatah makan siang dari katering perusahaan.

"Nuri ... kamu di pindah ke gudang, ya?" tanya Rasti menghampiriku yang sedang antri.

"Iya, nih. Mba Santi mindahin aku ke sana. Sekarang aku pegang distribusi material deh," ucapku sedikit manyun.

"Ya, bagus dong. Disana enak bisa santai. Gak hojot-hojotan lagi di line," ujar Rasti.
Hojot artinya cepat-cepat dalam bahasa Batak. Senior yang berdarah Medan itu selalu bilang, ' hojot namboru, lelet kali bah, keteteran aku kalean bikin,' begitu mereka selalu bilang pada kami yang anak baru.

"Santai seh, tapi sepi dan serem, gak ada orang di sana."

"Kan ada anak box di ujung gudang, disana kan rame. Gabung aja sama mereka biar gak sepi, pas lagi santai."

"Iya, seh." Aku ingat ada ruang di ujung gudang tempat karyawan merakit kardus untuk kemudian dioper juga keruang produksi. Ada satu orang tukang distribusinya sama seperti aku, tapi dia sering berada di dalam ruangan.

Kami pun segera menuju ke kursi dekat jendela kantin.

Tampak mas Juna ikut antri di sana dan duduk persis di belakang kami. Heran, biasanya dia makan di kantin gedung sebelah, khusus untuk orang kantor makan. Kok tiba-tiba disini, pikirku.

"Ssstt ... ada duren dibelakang kita, noh." Rasti mengikuti lenganku, membuat sendok jatuh terpelanting ke piring. Suara gaduh pun terdengar. Beberapa anak-anak melirik ke arahku. Aku tak sengaja melihat ke belakang dan beradu tatap dengan mata elang milik mas  Juna. Ia ternyata juga penasaran dengan gaduh tersebut.

Aku jadi tertunduk malu dan mencubit paha Rasti, kesal.

"Gara-gara Lo, nih. Pada ngeliatin deh orang-orang," bisikku kesal padanya.

Dia hanya meringis menahan tawa, sambil terus makan.

**

Bel pulang pun berbunyi, kami segera beres-beres peralatan kerja, lalu menuju loker masing-masing. Setibanya di loker kudengar beberapa karyawan bisik-bisik tetangga tentang seseorang, siapa lagi kalau bukan mas Juna. Pria berstatus duda tak beranak itu memang menjadi topik yang menarik bagi karyawan wanita di sana.

Aku lekas membuka loker dan menaruh perlengkapan kerja di sana, lalu bergegas menuju ke mesin pada card. Setelah selesai check out, aku tiba-tiba kebelet pipis.

"Ras Lo tunggu di mobil ya, gue mau ke toilet dulu," ucapku setengah berlari menuju toilet di lantai bawah itu.

Selesai buang hajat aku lalu menuju pintu keluar cepat-cepat, takut di tinggal mobil ntar.

Brukk ....
Tiba-tiba aku menabrak seseorang.

"Awhh ...." pekikku tatkala melihat sebuah tangan menarikku dari lantai.
Ternyata orang yang kutabrak itu mas Juna.

Sadar ternyata dia yang kutabrak, aku tak sanggup untuk menutupi rasa gugup tatkala dia menarik tanganku.

"Kamu gak apa-apa?"

"Gak apa-apa kok, Pak, eh Mas." Aku merasa gugup dan salah tingkah melihatnya. Ia menatapku tajam.

"Kamu kenapa sering banget bertingkah aneh seperti itu? Ada-ada saja kegaduhan yang kamu bikin selama ini aku perhatikan."

"Maaf, Mas, aku gak sengaja kok. Mungkin aku sedikit ceroboh," ucapku merasa malu ternyata di perhatikan selama ini olehnya.

Aku lalu pamit untuk pulang, ketika dia tiba-tiba menahan lenganku.

"Hey, tunggu, siapa namamu?"

Aku kaget setengah mati tatkala tangannya menahanku.grogi dan gugup pun tak bisa kututupi.

"Nuri, Mas." ucapku menyebut nama singkatku.

"Owhh, bagus, nama yang bagus." Mas Juna tampak tersenyum padaku.

'Mimpi apa aku di senyumin pria ini,' pikirku merasa salting. Selama ini dia terkenal kalem dan sedikit cool, tak banyak berbicara pada karyawan wanita. Itu yang membuat mereka merasa penasaran akan pria tersebut.

Aku lalu pamit pergi dan menuju ke mobil. Sepanjang jalan pulang aku hanya diam, sembari senyum-senyum sendiri. Entahlah, pria itu membuat hatiku terasa berdebar tak karuan. Apa ini yang dibilang jatuh cinta? Ah, apa mungkin secepat itu aku jatuh cinta pada seseorang. Selama ini aku paling susah jatuh cinta pada lelaki mana pun.

Mobil pun tiba di area rusun, kami lekas turun dan menuju mess kami yang di pojok.
Aku segera istirahat karena lelah tadi bekerja di gudang.

***







Misteri Rumah Susun Bida KuningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang