part 2

3 0 0
                                    

Sepulang kerja kami langsung menuju ke sebuah kompleks rumah susun di kawasan Bida kuning dekat waduk PDAM yang membatasi daerah Muka Kuning dengan Batu Aji. Aku bersama puluhan karyawan baru menaiki sebuah kendaraan pekerja pabrik menuju kesana.

Ternyata letaknya tak begitu jauh dari kawasan Batamindo, lewat dari pos polisi di dekat kawasan Batamindo sampailah di Simpang kompleks tersebut.

Kami segera turun dari mobil, dan mengikuti seorang yang ditugaskan untuk mengurus segala keperluan pindah kami kesana.
Ternyata kompleksnya sangat luas, dengan beberapa bangunan bertingkat tampak berjejer rapi hingga ke belakangnya. Tak ubahnya sebuah kompleks perumahan, di sana terdapat minimarket, warung, rumah makan, warnet, dan juga lapangan olahraga.

Suasana lumayan ramai, karena penghuninya yang notabene para pekerja pabrik di muka kuning telah pulang bekerja. Sangat beragam mulai dari yang masih lajang hingga yang telah berumah tangga pun ada di sana. Karena lantai dasar bangunan itu berupa rumah lengkap dengan dua kamarnya untuk satu keluarga yang menyewanya.

Kami mengikuti petugas itu menuju ke belakang kompleks, dan menuju sebuah bangunan paling pojok di belakang komplek tersebut. Di belakangnya berbatasan langsung dengan hutan lindung dan dipasang pagar kawat besi. Dan di sebelah kirinya tampak tebing yang membatasi kompleks dengan waduk PDAM, yang airnya dimanfaatkan oleh sebagian warga Batam untuk kebutuhan sehari-hari.

Petugas itu menemui penjaga rumah susun tersebut, lalu mengajak kami ke lantai empat.

"Ya, ampun Nuri mati kita, masak di lantai empat, mana gak ada liftnya lagi," curhat Resti, temanku sesama karyawan baru yang akan tinggal bersama nantinya.

"Lift ...?! Emang apartemen. Santai aja kale, Res, ntar juga terbiasa. Sekalian olahraga nih, biar gendutmu berkurang," sahutku tertawa kecil.

"Sialan, gendut-gendut gini badan gue tetep seksi kok," ucapnya pede sambil terus melangkah menaiki anak tangga.

"Iya seksi, kalau dilihat dari kacamata mas Suryo," balasku makin ngakak menyebut nama kekasih temanku itu.

Kami pun tertawa terbahak-bahak. Sesampainya di lantai atas kami pun menuju ke sebuah ruangan yang tak terkunci pintunya, lalu memasukinya. Tampak ruangan tersebut kosong tapi cukup rapi dengan beberapa dipan beserta kasur dan lemari di sampingnya.
Kira-kira ada sepuluh dipan.

Kami pun di bagi menjadi 2 kelompok, satu di ruangan ini satunya lagi di ruangan samping. Aku lega bisa satu tempat dengan Resti, walaupun anaknya rada ember tapi kami sangat akrab satu sama lainnya.

"Okey, semuanya berkumpul dulu," ucap petugas tersebut.

"Ingat ya, sama peraturan tinggal di sini. Jangan sembarangan, semua ada aturannya. Semua sudah saya jelaskan tadi. Barang siapa yang pulang terlalu larut, akan ada sanksi. Dan ingat! Untuk tidak melakukan tindakan kriminal di sini, karena kalian bakalan tinggal bersama selama dua tahun ke depan di sini," jelas petugas wanita tersebut tegas.

"Iya, Mba!" seru kami kompak.

"Baiklah, untuk kunci kalian masing-masing dapat satu duplikatnya nanti akan ditinggalkan sama penjaga.  Kalian bisa langsung bawa barang-barang kalian ke sini, tapi jangan sampai kebanyakan, seperlunya saja," ucapnya lagi menjelaskan.

Setelah semuanya selesai, dan mendapatkan kunci, kami pun kembali pulang ketempat masing-masing. Karena hari sudah malam, kuputuskan untuk pindah dan membawa peralatanku esok. Kebetulan esok kami libur kerja.

**

"Ahhhh ..., lega rasanya," desisku perlahan. Setelah seharian aku mengemas dan memindahkan semua peralatanku dari Indekos ke rusun. Syukur Raya temanku ikut membantu membawa peralatanku itu ke sini.

"Luas juga ya kompleksnya, udah gitu lengkap lagi, semua serba ada di sini," ucap Raya seraya matanya jelalatan mengitari setiap sudut komplek rusun tersebut.

"Pasti kamu betah deh tinggal di sini, Nuri," lanjutnya sedikit manyun.

"Kok manyun gitu seh, sesekali main deh ke sini, teman-temanku di sini pada asyik kok," ujarnya tersenyum padanya.

"Iya, pasti, yuk Ray kita cari makan yuk ke bawah," ajakku. Perutku lapar sekali, dan ingin mencicipi nasi Ampera di dekat gerbang. Karena dari tadi bau aroma rendangnya itu bikin ngiler.

"Yukk ..."
Kami pun menuju ke bawah, dan berpapasan dengan Resti.

"Udah siap pindahan ya, Nur?" tanya Resti.

"Iya, barusan aja, nih mau makan dulu ke bawah, laper, ikut gak?" tawarku pada Resti.

"Gak ah, aku udah siap tadi," ujarnya lagi melirik Raya.

"Oh ya kenalin, ini teman indekosku di Bengkong," ucapku mengenalkan Raya pada Resti.

Mereka pun saling berjabat tangan.

"Sering-sering aja main ke sini, Ray, asyik Lo di sini ngumpul-ngumpul," ujar Resti tersenyum.

"Iya, pasti kok, kalo libur ntar," balas Raya.

"Ya udah, kami ke bawah dulu, ya," ucapku sambil terus menuruni anak tangga menuju ke pintu gerbang rusun.

Setelah makan dan akhirnya Raya pamit pulang, aku pun balik menuju ke atas.
Hari sudah pukul 17.30 WIB. Hampir menjelang magrib, suasana mulai temaram. Lampu-lampu di setiap sudut kompleks mulai menyala, di tambah cahaya lampu dari setiap kamar di setiap lantai rusun makin membuat terang suasana pas malam harinya. Di depan sangat ramai orang berlaku lalang, tapi terus menuju tempatku agak lengang, karena sedikit yang menempati areal itu.

Perlahan kunaiki anak tangga menuju lantai empat. Udara dingin tiba-tiba menyergapku, ketika hampir sampai di lantai atas. Aku terdiam dan merasa sedikit aneh, karena udara dingin itu seperti lewat begitu saja melewati, lalu hilang dan tak terasa lagi.

Aku menatap sekeliling, lengang. Setengah berlari aku pun menuju pintu kamar kami. Syukurlah semua teman-temanku berada di sana. Aku pun langsung menuju kamar mandi segera mandi dan terus sholat.

***

Misteri Rumah Susun Bida KuningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang