Prolog

99 12 17
                                    

Bismillah.

°°°

Siapa yang yang akan memilih pergi jika sudah diberi janji akan kembali? Menanti adalah pilihan paling tepat untuk saat ini. Bukan karena tidak ingin melangkahkan kaki menuju masa depan, hanya saja janji yang diucapkan lebih dulu tertambat dalam benak.

Ibarat sebuah perjalanan, aku belum memulainya. Masih ada sesuatu tertinggal dan memintaku untuk menunggunya. Masih ada sesuatu yang hilang dan aku harus menemukannya. Seperti sesuatu semakin hari semakin asing hingga akhirnya aku kembali terluka. Memilih diam kemudian menghilang begitu saja.

Hingga pada akhirnya terungkaplah bahwa ini bukan kisah indah dari dua insan yang terpisah lalu bersatu seperti Adam dan Hawa. Bukan pula kisah berakhir manis karena janji itu telah ditepati. Namun hanya kisah cacat yang sama sekali tidak mendekati sempurna.

Kisah tentang kebodohanku menanti seseorang yang sudah jelas meninggalkanku. Entah kenapa sulit bagiku melupakannya. Dia pernah berjanji akan kembali dan aku percaya begitu saja. Meski pun sejak awal aku tidak yakin bahwa ada janji untuk kembali dalam kalimat selamat tinggal darinya. Yang jelas, aku merasa dia berjanji akan kembali saat mengatakan ungkapan terakhirnya ketika aku mengantarnya ke bandara saat itu.

"Aku tidak berjanji akan cepat pulang Fa," katanya yang kurasa tidak melihatku. Berdiri berjarak lima langkah dariku. Tatapannya terlihat biasa saja padahal dia akan berpisah denganku dalam waktu yang lama.

Aku tahu, aku bukanlah siapa-siapa. Tapi dia pernah berkata bahwa dia memiliki komitmen denganku, bahkan telah berbicara dengan Ayahku. Dia akan menemui Ayahku jika dia telah menyelesaikan pendidikannya nanti. Namun, ternyata dia memilih untuk pindah ke pulau seberang bahkan ketika dia belum menyelesaikan pendidikan sarjananya.

"Tapi Bang Arfan pernah bilang buat ketemu Ayah kan?"

"Fa-"

Telingaku mendengar suara keraguan darinya. Entah aku yang terlalu peka, atau memang dia yang telah siap meninggalkan aku dan mengingkari janjinya dulu.

"Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku telah meletakkan harapku padamu, Bang," tuntutku tidak terima.

"Jika memang ditakdirkan untuk berjodoh denganmu, aku pasti akan kembali padamu Fa. Tapi jika ada rencana lain, carilah fajarmu yang akan datang seperti harapanmu dan sambutlah ia tanpa menungguku."

Kalimat itu direspons oleh otakku seperti kalimat perpisahan. Pergi tanpa ada niat untuk kembali. Pergi tanpa serius denganku seperti ucapannya dulu. Bahkan dia bukan remaja berusia delapan belas tahun lagi, dia juga seorang laki-laki. Tidak bisakah memberikan harapan pasti?

"Fajarku katamu?"

---

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FajarmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang